meretas jalan revolusi putih

Dimataku kulihat fakta, menyilat sejarah dari cinta dan amarah pelupur dari setiap air mata tanah Anbiya, membedah kepedihan para pujangga Allah penjaga batas tanah syuhada, genggam ketapelmu hei Jundullah

teruntuk kalian yang merindukan mereka Yang berdiri dari kebesaran para panji-panji kemegahan Islam

Saksikanlah kebangkitan ini,Kebangkitan dari barisan rapat Pemuda islam diseluruh dunia Saksikanlah kebangkitan kami, Kebangkitan para pecinta syahid,Para pewaris risalah Rasululloh SAW .. Allahu Akbar .. Allahu Akbar .. Allahu Akbar ..

alfahmu al-ikhlas al-amal aljihad attadhiyah attaat attsabat attajarud al-ukhuwah attsiqoh

Hiruplah kesturi syahid tanah negri, Tanah dari panji bendera para mujahid Biarlah mata hati iringi perih stagnasi madinah, Memori keharuman para sahabat Dan nafas terakhir sang nabi Ummati.. Ummati.. Ummati...

Terkenanglah darah itu, mereka yang telah pergi Terdengarkah suara itu, Panggilan yang memanggil (Demi Alloh dan para RosulNya) Terjaga dari segala kekufuran

ketika fundamental adalah teroris dan demokrasi berorasi dalam alunan kata rangkaian iblis sumpah serapah untaian kata tragis liberalis, syair demokrasi memecah belah ummat dalam kebisuan propaganda mata mata logika yang dustakan nilai aqidah, neraka tipu daya pluralisme agama

maka kami takkan berakhir meski telah hitam warna angin dan air meski tubuh terkoyak bersama seribu martir walau terlemparkan untuk sekian kali lagi

Pada ceritamu kusimpan nafasku, Rangkaian kata dalam pertempuran sejati Syahidmu adalah energi jiwaku, Kesolehan mu adalah cermin hidupku Kau takkan pernah habis

Rabu, 08 November 2017

21 tanya jawab tentang Khilafah

1. Apa itu Khilafah?
Khilafah adalah sistem pemerintahan islam yg menyatukan kaum muslim sedunia dgn kepemimpinan satu orng Khalifah yang menerapkan Syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan dan diberlalukan kpd seluruh warga negara, termasuk non-mus

2. Apa Khilafah wajib?
Menegakkan Khilafah jelas wajib hukumnya bg seluruh kaum muslimin, apapun organisasinya, perkara menegakkan Syariah dan Khilafah adalah kewajiban bersama, bkn hanya kelompok tertentu sj. Hal ini agar seluruh hukum Islam dapat terlaksana dgn sempurna.

3. Apa dalil2 tentang kewajiban menegakkan Khilafah?
QS.Al-Maidah:44, 45, 47-50; QS.Al-Baqarah:208; QS.An-Nur:55; QS.Al-Baqarah:30; QS.Shad:26; QS.Baqarah:178; QS.Al-Maidah:38; QS.An-Nur:2 dsbnya
HR.Muslim no.1851,HR.Imam Ahmad no.17653, 17680, 21928, 22540, HR.al-Bazzar no. 2796, HR.Abu Dawud no.2535, 4648,
al-Mustadrok no.8309, HR.al-Baihaqi no.18333, at-Tarikh lil Bukhari no.3615, Shahih Muslim, Kitab: wujubul wafa bibai’atil khalifah al-awwal fal awwal, no. 1842. Shahih al-Bukhari, Bab: maa dzukiro ‘an bani israil, no. 3268; Shahih Muslim, Kitab: Idza Buyi’a Likhalifataini, no. 1842 dan masih banyak dalil2 baik Al-Quran, Al-Hadist, Ijma Shahabat dan Qiyas Syar'iyyah

4. Lalu apakah ulama berbeda pendapat ttng Khilafah?
Kewajiban menegakkan khilafah dinyatakan oleh para ulama dlm kitab2nya:
-Imam al-Kasani, Badâ’i ash-Shanâ’i fî Tartîb asy-Syarâ’i XIV/406
-Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtâr, IV/205
-Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265
-Imam al-Muwaq, At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl, V/131
-Imam Abu Zakaria an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291
-Imam an-Nawawi, Raudhâh ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, III/433
-Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj ath-Thulâb, II/268
-Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204
-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25
-Abu al-Hasan Nur ad-Din al-Mula al-Harawi al-Qari, Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il, II/219
Dan masih banyak kitab lainnya
Termasuk 4 Imam Madzhab (Imam Syafii,Maliki,Ahmad,Hambali) pun sepakat Khilafah wajib.

5. Apakah Khilafah pernah ada?
Jelas hal tersebut pernah ada, toh dalil2nya pun jelas ada, maka semenjak Rasulullah diangkat sbg kepala negara islam di Madinah, rasul telah melaksanakan sistem pemerintahan islam, meski namanya bkn Khilafah, krn Khilafah disebut sebagai pengganti Rasulullah. Mk semenjak rasul wafat, istilah Khalifah pun dipakai sbg sebutan kpd kepala negara. Khalifah pertama adalah Abu Bakar As-Shiddiq dan sistem pemerintahannya disebut Khilafah, krn yg memimpin adalah Khalifah.
Khilafah ini trus berlangsung dari semenjak rasul mendirikan negara islam pertama thn 622 M hingga tahun 1924 M.

6. Kenapa Khilafah berakhir thn 1924 M?
Krn Khilafah telah dirusak dr dlm melalui masuknya pemikiran2 yg bkn berasal dr Islam sprt Nasionalisme, Demokrasi, Patriotisme, dsbnya, ide2 ini disampaikan oleh barat (Inggris dan Prancis) melalui orng2 yg berkhianat di dlm negara Khilafah itu sendiri, salah satu tokoh terkenalnya adalah Mustafa Kemal Attaturk sbg tokoh penyeru pengkhianatan dan penghapusan Islam dan Khilafah saat itu hingga akhirnya Khilafah dihilangkan

7. Setelah Khilafah runtuh, apa yg terjadi?
Yg trjadi adalah umat islam yg tdnya hidup dlm satu naungan negara, yg diikat dgn ukhuwah dan aqidah, dgn satu bendera rasulullah (Al-Liwa & Ar-Rayah), satu kepemimpinan Khalifah, satu peraturan yaitu Islam.
Kemudian dipecah belah mnjd puluhan negara bangsa (konsep nation state) dgn ditanamkan rasa nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, sosialis komunis, sehingga akhirnya islam dijajah baik dr politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dsbnya

8. Lalu apa yg terjadi dgn Indonesia saat Khilafah ada?
Di indonesia para Wali Songo adalah utusan dr timur tengah yg dikirin Khilafah untuk menyebarkan Islam di nusantara, serta indonesia pun masuk ke dlm wilayah Khilafah, hingga munculnya berbagai kesultanan Islam di nusantara, mata uang dinar, dirham, aksara arab, dsbnya.
Nama2 asli wali songo:
Sunan Giri (Raden Paku / Ainul Yaqien)
Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim)
Sunan Ampel (Raden Rachmad)
Sunan Drajat (Raden Qosim Syarifuddin)
Sunan Muria (Raden Syaid)
Sunan Gunung Jati (Fatahilah / Fattahillah / Syarif Hidayatullah)
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Sunan Kudus (Raden Ja'far Sodik)
Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)

9. Lalu pada saat menjelang kemerdekaan Indonesia apa yg terjadi?
Memang betul dan benar kalau yg memperjuangkan Indonesia itu tdk hanya orang islam sj, tp dgn yg non-mus pula.
Tp perlu diingat Umat Islam adalah yg pertama kali mendorong pribumi untuk melawan penjajah dengan semangat Jihad dan Pekikan Takbir, hingga akhirnya tokoh2 dan orng non-mus pun ikut tersemangati dan ikut melawan penjajah.
Semangat Jihad dan Pekikan Takbir ini selalu dilakukan mulai dr zaman kesultanan2 hingga kemerdekaan Indonesia 1945 dlm melawan penjajah Portugis, Belanda, Jepang.
Sblm kemerdekaan pun Umat Islam telah lebih dulu banyak membentuk organisasi sprt Muhammadiyah, Masyumi, Parmusi, Sarekat Islam, dsbnya untuk memerdekakan Indonesia dr penjajah.

10. Pd saat Khilafah runtuh, apa yg terjadi di Indonesia?
Umat islam di Indonesia kaget dan langsung resah akan pernyataan Khilafah telah dihapus.
Akhirnya pd thn 1925 dan 1926 umat islam di Indonesia mengadakan Muktamar Khilafah, bahkan di Kairo Mesir pun diadakan Muktamar Khilafah Internasional, dr Indonesia mengutus sekitar 9 tokoh.
Pd thn 1926 pula para ulama Indonesia sepakat membentuk Nahdlatul Ulama untuk mengupayakan agar Khilafah tegak kembali scr bersama. Tp sayangnya ini tdk berlanjut lg.

11. Lalu pada saat menjelang proklamasi isi sila ke-1 dirubah oleh pihak nasionalis?
Pdhl seharusnya sbg penduduk negeri muslim terbesar hrsnya menerapkan dan melaksanakan Syariah Islam, tetapi sila ke-1 yg tdnya berbunyi ''Kewajiban Melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk2nya'', dirubah mnjd ''Ketuhanan Yang Maha Esa''
Pihak nasionalis beralasan bhw penduduk Indonesia timur tdk setuju. Pdhl itu hanya alasan pihak nasionalis sj.
Dan itu sbg pengkhianatan kpd para Ulama waktu itu, krn sila ke-1 dirubah isinya.

12. Apakah Syariah Islam hanya berlaku bagi Umat Islam sj?
Tidak. Pd masa Rasul dan para Sahabat pun Warga Negara Islam pd waktu itu tdk hanya umat islam sj, tp ada Yahudi, Nasrani dan Majusi jg, dan mrk hidup tentram, sejahtera, aman, nyaman, dilindungi. Ini trjadi hingga Khilafah trkahir thn 1924.

13. Apa sj hukum yg mengatur non-Mus?
Hukum yg bersifat umum sosial kemasyarakatan, seperti berekonomi islam, pemerintahan islam, politik islam, interaksi sosial islam, pendidikan, dsbnya
Tetapi terkait Aqidah, Ibadah, Rumah Ibadah, mk itu masing2, tdk diusik, dihormati

14. Kenapa di Indonesia hrs menegakkan Khilafah? Knp tdk di timur tengah saja?
Jk kita mengaku Muslim dan menganut Islam, dan sdh tau dalil2 ttng kwajiban menegakkan Syariah dan Khilafah, mk di wilayah manapun dan kapanpun, apapun, kita sbg muslim wajib menegakkan hukum2 Allah. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya hrs melaksanakan segala apa yg diperintah-Nya dan meninggalkan sgl apa yg dilarang-Nya dan bkn berasal dr Rasul (tdk dicontohkan Rasul). Kita semua kepunyaan Allah, seluruh alam semesta ini kepunyaan Allah, bumi, air, udara, kandungannya, dsbnya kepunyaan Allah, ciptaan Allah, mk wajiblah kita menegakkan dan melaksanakan sgl Perintah Allah.

15. Apakah Islam, Syariah, Khilafah mengakui Kebhinekaan?
Jelas Khilafah pun mengakui kebhinekaan, dan mohon maaf, sblm Indonesia berdiri pun Khilafah sdh lebih dulu Bhineka dari zaman Rasul sendiri hingga 1924 (runtuh)
Apa yg Bhineka dr Khilafah?
Jelas dr sejak Rasul dn pr Sahabat pun terdapat Beragam Agama, Suku, Budaya, Bahasa, Ras, dsbnya yg hidup dlm satu naungan Islam yg hidup rukun, sejahtera, aman, damai dilindungi oleh Hukum Allah
Hukum yg paling sempurna yg mengetahui sgl kebutuhan Makhluknya yang Bhineka yg membentang dr ujung Andalusia Spanyol hingga Nusantara.

16. Apakah Khilafah bertentangan dgn Pancasila?
Jelas tdk. Justru saat ini Pancasila tdk pernah diterapkan dr zaman Soekarno hingga saat ini dgn baik.
Lalu apa yg membuat saat ini Pancasila tdk pernah dilaksanakan dgn baik?
Yaitu krn Indonesia melaksanakan sistem Kapitalisme, bhkn zaman Soekarno pernah menjadi Sosialis Komunis, skrng zaman Jokowi Kapitalisme Neo Sosialis Komunis.

17. Apa Buktinya Pancasila dikhianati rezim?
Buktinya saat ini sj, rezim banyak melakukan tindakan lewat kebijakan2nya yg tdk sesuai dgn pacasila.
Diantaranya:

Anti sila ke-1 :
- Tuhannya tidak esa.
- Penista agama.
- Membubarkan pengajian.
- Melarang takbir, zikir, dan penyembelihan hewan qurban.
- Menjamu pembakar masjid.
- dsb

Anti sila ke-2 :
- Tidak beradab, misalnya mengkriminalisasi ulama.
- Tidak berkemanusiaan, misalnya menaikan harga listrik diam-diam hingga rakyat menjerit.
- Melakukan tindak kekerasan kepada yang tidak sependapat.
- Membunuh tanpa pengadilan kepada orang yang dituduh "teroris".
- dsb

Anti sila ke-3 :
- Separatis dan makar yang sesungguhnya malah dibiarkan: OPM, RMS, GIDI.
- Memalukan bangsa Indonesia, yaitu mengigau dan ngelindur masalah ekonomi, sehingga menjadi bahan tertawaan pengamat ekonomi internasional.
- Makar terhadap Pancasila yaity berusaha mengganti Pancasila dengan Trisila, NASAKOM, dan Gotong Royong.
- Mulut jamban yang memecah belah rakyat.
- dsb

Anti sila ke-4 :
- Menangkap orang dengan tuduhan makar tanpa bukti.
- Membuat dan mengesahkan perundang undangan berbau liberal, padahal tidak pernah bermusyawarah dengan rakyat.
- Berencana membubarkan organisasi legal tanpa pernah diajak diskusi, dialog atau musyawarah.
- dsb

Anti sila ke-5 :
- Menggusur rakyat kecil demi pemodal besar.
- Memaksakan program yang hanya menguntungkan segelintir cukong.
- Menerapkan kebijakan kapitalis liberal.
- Menjegal program perumahan untuk rakyat.
- Membuang uang rakyat dengan cara mengimpor bus rongsokan yang mudah terbakar.
- Menjual BUMN dan kapal tanker dengan harga murah kepada asing.
- Menjual gas alam dengan harga supee murah kepada negara aseng, sampai perdana menteri mereka pun heran kok semurah itu, sehingga harga gas di Indonesia jadi mahal, padahal kita adalah negara pemilik gas alam terbesar di dunia
- Korupsi yg rakus memakan uang rakyat
- dsb

18. Jd Khilafah tdk bertentangan dgn Pancasila?
Justru Khilafah akan menegakkan nilai2 pancasila dgn baik, krn nilai2 yg ada dlm Pancasila sesuai dgn nilai2 yg ada pd Islam
Pancasila tdk bertentangan dgn Islam, krn mulai dr sila ke-1 hingga sila ke-5 itu ada dalilnya.
Sila ke-1 sesuai Al-Ikhlas:1
Sila ke-2 sesuai An-Nisa:135
Sila ke-3 sesuai Al-Hujurat:13
Sila ke-4 sesuai As-Syuro:38
Sila ke-5 sesuai An-Nahl:90
Maka dengan Syariah dan Khilafah, nilai2 Pancasila jelas akan terlaksana
Tdk seperti saat ini Pancasila hanya bagaikan pajangan semata yg diabaikan oleh sistem Demokrasi Kapitalisme Neo Sosialis Komunis saat ini.

19. Lalu seperti apakah konsep Khilafah?
Khilafah pun punya struktur negara berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas Syar'iyyah.
Struktur negara Khilafah:
a] Khalifah (kepala negara), dalilnya adalah af'al (perbuatan) dan aqwal (sabda) Rasulullah saw srta Ijma Sahabat ttng kewajiban mengangkat Khalifah pengganti Rasulullah
b] Mu'awin at-Tafwidh (pembantu khalifah dlm bidang pemerintahan), dalilnya HR.Tirmidzi no.3680 dan HR.al-Hakim no.3046
c] Wuzara at-Tanfidz (pembantu khalifah dlm bidang administrasi), dalilnya HR.Abu Dawud no.3645
d] Wali (Gubernur), dalilnya Sunan Imam Bukhari juz 5, hal.107
e] Amirul Jihad (Departemen Peperangan), dalilnya HR.Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqat al-Kubra’, II/128
f] Departemen Keamanan Dalam Negeri (departemen yg dipimpin oleh Syurtah/polisi khilafah untuk menjaga keamanan dlm negeri), dalilnya dr Anas bin Malik, ''Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi saw memiliki kedudukan sbg kepapa kepolisian dan ia termasuk diantara para amir.''(HR.al-Bukhari)
g] Departemen Luar Negeri (mengurusi urusan hubungan internasional antar Khikafah dgn negara lain), dalilnya af'al (perbuatan) rasul yg mengutus Ustman bin Affan brunding dgn kaum Quraisy, mengirim utusan kpd para raja, menjalin hubungan politik, kesepakatan, dsbnya
h] Departemen Perindustrian (industri ringan dan berat), dalilnya QS.Al-Anfal:60. As-Sunnah ttng rasul memerintahkan pendirian industri Manjaniq (senjata pelontar) dan Dababah (semacam tank dr kayu). Ibnu Saad dlm Ath-Thabaqat, dr Makhul, berkata,''Sungguh Nabi saw. menggempur penduduk Thaif dgn Manjaniq selama empat puluh hari.''
i] Peradilan, dalilnya QS.Al-Baqarah:178; QS.Al-Maidah:38; QS.An-Nur:2 termasuk ayat yg membahas perkara perdata pun diselesaikan
j] Kemaslahatan Umum (Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan, Perhubungan, Pertanian, Perekonomian, dsb), dalilnya af'al Rasul saw dan Khulafaur Rasyidin dlm mengatur negara.
k] Baitul Mal (Kas Negara), dalilnya af'al Rasul saw dan Khulafaur Rasyidin dlm mengatur negara. Baitul Mal sdh mahsyur banyak dikenal, banyak dalil dan Ijmak sahabat
l] Penerangan (Departemen Kelistrikan, Perairan, Jalan dan Jembatan, Drainase, Informasi-Telekomunikasi), dalilnya QS.An-Nisa:83
m] Majelis Umat (Majelis Syura), perwakilan2 untuk mengoreksi (Muhasabah) Khalifah dan semua PNS, dalilnya af'al Rasul saw dan para sahabat yang saling menyampaikan masukan tentang kemaslahatan umat dlm mengurus negara.

20. Jd setelah dihabas semua ini, apa yg hrs dilalukan?
Mk ikutlah berjuang berdakwah untuk memperjuangkan agar Kalimat Tauhid (Laa Illaha Ilallah Muhammad Rasulullah) Tegak, artinya Tiada Tuhan Selain Allah, Muhammad Utusan Allah dgn kata lain tdk ada Hukum yg dilaksanakan selain Hukum2 Allah dan Rasulullah, Melaksanakan Seluruh Perintah Allah dan Meninggalkan seluruh apa2 yg skrng menjangkiti pemikiran Umat Islam seperti Demokrasi, HAM, Kapitalisme, Nasionalisme, Sekulerisme, Sosialis Komunis, Pluralisme, Filsafat, dan pemikiran2 kufur lainnya yg bkn berasal dr Islam.
Dakwahnya pun sesuai apa yg rasul contohkan, yaitu dakwah pemikiran agar masyarakat paham akan kerusakan yg terjadi dan memperjuangkan Islam hingga tegak.

21. Lalu jika menolak tdk mau berjuang dan tetep keukeuh tdk setuju dgn semua dalil2 dan kebenaran yg disampaikan?
Itu pilihan sendiri, apakah ingin menolong dan membela Agama Allah atau membangkangnya serta menentangnya dan malah mempertahankan Hawa Nafsunya dgn lebih memilih diatur oleh Hukum2 Manusia dr pd Hukum Allah.

Silahkan tdk ada paksaan.

Semoga bermanfaat dan semoga Allah memberi hidayah agar kita mau membela agama-Nya.

Jazakallah khairan katsiran.


Disusun dan dirangkum oleh : Naufal Althaf M. Ahmad




Selasa, 31 Oktober 2017

Memoar Seorang Tahanan Politik Aktivis Hizbut Tahrir Bernama Muhammad Yang Baru Berumur 16 Tahun

Berikut ini adalah peristiwa yang menimpa saya selama berada dalam penjara Otoritas yang zalim dan biadab: Setelah menyebarkan pernyataan yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir berjudul, Otorita Palestina Yang Tunduk Kepada Yahudi Menculik Dan Mengadili Para Aktivis Hizbut Tahrir, pada hari Sabtu, 23/1/2010, saya pulang ke rumah. Dan sebelum saya sampai, aparat keamanan Abbas sudah sampai duluan di rumah. Mereka menyerahkan pemberitahuan kepada ayah saya. Surat pemberitahuan itu berisi, Anda harus datang ke kantor investigasi kota. Namun saya tidak menghiraukannya, dan saya pun tidak memenuhi permintaan mereka.
Dua hari kemudian, tepatnya pada hari Senin, 25\1\2010 datang ke rumah saya pasukan militer untuk menangkap saya. Sementara kemarahan tampak sekali pada diri mereka. Secara kebetulan, salah satu dari mereka ini terjatuh pada saat pengepungan rumah, dan pada saat itu pula, pemimpin mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka datang untuk menangkap saya.
Ketika itu saya tidak dalam kondisi siap, saya tidak mengenakan pakaian selain pakaian biasa, dan saya tidak memakai sepatu. Lalu, saya meminta kepada mereka untuk memakai sepatu dulu. Namun, anggota pasukan yang pada marah itu, menolak permintaan saya, bahka mereka menyeret saya ke mobil. Melihat perlakuan biadab mereka ini, maka saya mulai menghardik mereka, dan menyebutnya dengan kata-kata yang memang pantas untuk kebiadaban mereka. Mereka semakin memukuli saya, dan saya pun semakin keras menghardik merekak. Dan, kemudian mereka memasukkan saya ke dalam mobil. Selama di dalam mobil, mereka tidak henti-hentinya memukili saya, dengan tangan, kaki, dan gagang senapan mereka. Karena terlalu sakit, maka saya pun menjerit, Cukuplah Allah bagi saya, dan Dia sebaik-baik wakil dalam melawan kalian, Cukuplah Allah bagi saya dalam melawan setiap orang zalim, dan mereka yang murtad. Namun mereka semakin marah dan jengkel, serta pukulan mereka semakin keras, sehingga mereka mendaratkan gagang senjatanya ke kepala saya, punggung saya, kedua kaki saya, dan kedua tangan saya. Kemudian mereka membawa saya masuk ke dalam markas keamanan mereka.
Saya dipertemukan dengan Direktur Pusat. Dan kemarahannya terlihat jelas di wajahnya. Ia langsung menyemprot saya dengan pertanyaan, Mengapa Anda tidak segera datang, padahal telah sampai pemberitahuan kepada Anda mengenai keharusan Anda datang di markas ini?Apakah Anda hendak meremehkan Otoritas? Saya tidak menjawabnya. Kemudian ia mulai menanyakan saya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah Anda mengakui Otoritas? Saya tidak akan pernah mengakui legitimasi Otoritas selamanya! Ia pun semakin marah pada saya. Apakah Anda menyebarkan nasyrah atau publikasi? Saya tidak menyebarkan, dan seandainya Anda memberi saya kesempatan, niscaya saya sebarkan. Namun, sayang sekali Anda tidak memberi kesempatan itu pada saya! Siapa yang memberi Anda nasyrah atau publikasi itu? Tidak seorang pun yang memberi nasyrah atau publikasi itu kepada saya.
Kemudian, ia kembali lagi ke pertanyaan semula. Mengapa Anda tidak mengakui legitimasi Otoritas? Karena Otoritas ini dibentuk berdasarkan kesepakatan Oslo, sementara kesepakatan Oslo batal demi hukum (menurut syariah Islam). Sebab, berdasarkan kesepakatan itu, justru Otoritas telah menyerahkan Palestina kepada Yahudi, dan ini merupakan perbuatan haram. Sehingga setiap yang dibangun di atas sesuatu yang haram, maka ia juga haram, dan tidak sesuai syariah (ilegal). Oleh karena itu, bagaimana mungkin saya mengakui legitimasi sesuatu, sementara Allah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang sah, dan bagaimana mungkin saya menentang perintah Allah.
Kemudian lihatlah tindakan Otoritas Anda, yang melakukan koordinasi keamanan dengan Yahudi; mengejar setiap orang yang ikhlas; sementara kondisi Anda sekarang justru Anda lebin mengutamakan berdamai dengan Yahudi dan menjaga keamanannya, dari pada memerangi negara Yahudi, menendangnya, dan mencabut pemukiman dari akarnya, bahkan Anda menerima pembekuan pembangunannya hanya untuk sementara saja; lalu Anda mengabaikan pengembalian para pengungsi ke rumah mereka, bahkan Anda menjadikannya hanya hak untuk kembali, yang bisa saja diganti dengan kompensasi; dan setelah Anda menembaki (memerangi) Yahudi, justru Anda sekarang menandatangani perjanjian di mana Anda melarang setiap orang menembaki (memerangi) Yahudi, bahkan tidak hanya melarangnya tetapi juga menangkapnya, memenjaranya, dan tidak jarang hingga Anda membunuhnya. Kemudian, Anda menginginkan saya mengakui legitimasi semua ini, bodoh benar!! Ia semakin marah bahkan hingga batas yang tidak wajar. Ia tidak lagi menanggapi argumen dengan argumen, sebaliknya ia menghardik dan berteriak dengan mengeluarkat kata-kata kotor, menghina dan mencaci Hizbut Tahrir, para aktivisnya, dan amirnya. Sehingga saya tidak lagi menemukan kata-kata yang lebih buruk untuk menanggapinya.
Tidak lama kemudian, ia memanggil para algojonya. Mereka mendudukkan saya di atas kursi. Dan ia pun kembali menampari saya beberapa kali. Sementara para algojonya menjadikan tangan saya di belakang kursi, dan menariknya dengan kuat, hingga saya merasa bahwa tangan saya hampir patah. Ia berteriak, Apakah Anda mengakui legitimasi Otoritas? Saya juga berteriak, Tidak! Saya tidak akan pernah mengakuinya! Kemudian saya katakan kepadanya, Bagaimanapun usaha Anda mengintimidasi saya dan memukuli saya, semua sia-sia saja. Sebab, saya tidak akan pernah mengakui legitimasi Otoritas, dan tidak akan pernah keluar dari Hizbut Tahrir, yang merupakan denyut nadi darah saya, bahkan seandainya Anda memotong pembuluh darah saya, niscaya Anda akan melihat darah murni Hizbut Tahrir yang mengalir, dan sekali lagi saya katakan bahwa saya tidak akan pernah keluar dari Hizbut Tahrir, sebab Hizbut Tahrir ada di atas kebenaran, sementara Anda ada di atas kebatilan dan kesesatan, pemikirannya benar dan metodenya sesuai syariah. Kemudian pemukulan berhenti, dan saya pun diseret ke ruang investigasi, yang tampak tenang.
Lalu, diajukan kepada saya beberapa pertanyaan, tentang nama saya, umur saya, alamat rumah saya, apa yang saya lakukan, dan apakah saya aktivis Hizbut Tahrir atau bukan. Saya menjawab semua pertanyaan itu. Kemudian, ia bertanya tentang penyebaran nasyrah (publikasi). Saya jawab, Saya tidak melakukan, seandainya Anda memberi saya kesempatan, niscaya saya lakukan. Kemudian, ia bertanya pada saya tentang siapa yang memberikan nasyrah (publikasi) itu pada saya. Saya tidak menjawab apa yang ia tanyakan. Setelah selesai investigasi itu,
kemudian saya dimasukkan ke dalam ruang tahanan. Dan pada akhir malam, Direktur Pusat datang ke ruang tahanan didampingi pasukan pengawal untuk menanyakan tentang pengakuan saya atas legitimasi Otoritas. Namun jawaban saya tidak berubah. Kemudian, ia bertanya pada saya, Apakah Anda yakin dengan apa yang ada dalam nasyrah (publikasi) itu? Saya mengatakan kepadanya, Saya sangat yakin seyakin-yakinya, bahkan saya meyakinkan setiap hurup sekalipun yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir sejak 1953. Sehingga bagaimanapun usaha Anda pada saya, dan Anda menyiksa saya, maka Anda sama sekali tidak akan pernah mampu menggoyah dan mengalahkan keyakinan saya. Mendengar itu, wajahnya tampak merah dan sangat marah. Kemudia, ia dan para pengawalnya memukuli saya berkali-kali dengan keras. Dan pagi harinya, mereka memindah saya ke Markas Besar Investigasi di kota al-Kholil (Hebron).
Ketika kami sampai di sana, saya meminta untuk dibawa ke tempat layanan medis. Dan sayapun benar-benar pergi ke sana. Sehingga saya berhasil bertemu ibu saya yang sedang sakit untuk meyakinkannya bahwa saya baik-baik saja. Kemudian saya berkata kepadanya, Jangan pernah datang ke sini lagi, dan menemui seseorang di antara bajingan-bajingan di sini. Saya baik-baik saja, dan jangan khawatir tentang keadaan saya.
Kemudian, saya dimasukkan ke ruang investigasi, lalu ia bertanya kepada saya: Siapa yang memberi Anda publikasi-publikasi itu? Dimana Anda menyebarkannya, dan berapa jumlahnya? Apakah Anda yakin dengannya? Mengapa Anda mencaci kami? Saya menjawab tidak seperti yang ia inginkan. Saya tidak menyebarkan apa-apa. Dan Anda tidak memberi saya kesempatan untuk menyebarkannya. Sekiranya Anda memberi saya kesempatan untuk menyebarkannya, tentu saya melakukannya. Dan saya sangat yakin seyakin-yakinnya dengan isi publikasi itu; dan jumlahnya 6. Oleh katena itu, kami katakan apa yang dapat kami katakan terkait Otoritas bahwa Otoritas ini begitu rendah dan hinanya di mata kaum kafir pendudukan, mengingat satu jeeb saja di antara jeeb-jeeb Yahudi telah membuat Anda bersembunyi di markas Anda. Dan inilah faktanya, baik Anda akui atau tidak. Lalu, ia berkata kepada saya bahwa teman Anda, Abdullah telah mengakui tentang Anda. Ia berkata bahwa ia yang telah memberikan Anda nasyrah (publikasi) itu. Saya katakan bahwa perkataan itu sama sekali tidak benar. Dan seandainya Abdullah mengakui sekalipun, maka Anda tidak akan bisa membuat saya mengakui tentang seorang pun. Bahkan sekalipun Abdullah datang dan berkata, Saya yang memberi Anda nasyrah (publikasi) itu, maka saya tetap tidak akan mengakui tentang seorang pun. Untuk itu, pertemukan saya dengan teman saya supaya kita tahu siapa yang dusta.
Kemudian mereka menghadirkan teman saya, dan mereka berusaha menyakinkan di anrara kita. Dimana saya melihatnya bahwa mereka berkata kepada teman saya bahwa saya telah mengakui tentang dia. Namun, justru aebuah kebenaran yang tampak ketika kami dipertemukan. Posisi mereka sungguh tersudut dan memalukan, sebab teman saya justru berkata kepada mereka, Bahwa Anda benar-benar kaum pendusta. Kemudian, ia meminta saya untuk menandatangani sebuah perjanjian, namun saya menolak.
Pada saat itu, ada beberapa paman saya yang datang mengunjungi saya, dan menyakinkan saya. Tampaknya mereka telah menerima sebagian dari kezaliman, yang disampaikan kepada mereka, bahwa mereka akan membebaskan saya jika saya telah menandatangani perjanjian. Ketika pertemuan berlangsung, maka paman-paman saya berkata kepada saya, Wahai keponakan, ingat ibumu sedang sakit karena keberadaanmu di penjara, maka janganlah kamu menambah beban dan penderitaannya. Kamu tinggal menandatangani perjanjian ini, dan pergi bersama kami. Saya berkata kepada mereka, Janganlah kalian menekan saya, sebab ibu saya baik-baik saja. Saya ingin kalian mendukung dan meneguhkan sikap saya, dari pada kalian menekan saya. Sungguh! Saya tidak berharap sikap seperti ini datang dari kalian! Dan ingat! Selamanya saya tidak akan pernah menandatanganinya, sekalipun saya sampai busuk di dalam penjara. Salah seorang paman saya berkata, Jika ini yang kamu inginkan, maka bertawakkallah pada Allah, niscaya Allah pasti melindungimu.
Kemudian, setelah sehari, saya dipindahkan ke penjara remaja. Dan di penjara ini saya tinggal selama dua hari tanpa dilakukan investigasi apa pun, kecuali suatu usaha pada hari terakhir yang dilakukan oleh direktur penjara remaja untuk meyakinkan saya agar menandatangani sebuah perjanjian hingga akhir cerita. Namun, semuanya tidak ada yang berhasil menyakinkan saya.
Dua hari kemudian, saya dipindahkan ke Jaksa Militer di pusat kota. Dan saya tinggal bersama mereka selama tiga hari. Mereka menginvestigasi saya lebih dari sekali dan dengan pertanyaan yang sama. Salah satunya adalah pertemuan dengan Jaksa (Penuntut Umum) Militer. Di mana ia menanyakan beberapa pertanyaan kepada saya, seperti pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Namun, ia berbeda dari yang lain, sebab ia begitu tenang, sampai ia bertanya pada saya tentang sejauh mana keyakinan saya terhadap Hizbut Tahrir yang saya menjadi anggotanya. Saya menjawab bahwa saya terlah bergabung dan menjadi anggota partai yang agung, pemikirannya jelas, metodenya dikenal dan sesuai syariah; Hizbut Tahrir mengemban kebaikan Islam untuk semua manusia; Hizbut Tahrir bekerja dengan sekuat tenaga dan tekad yang kuat untuk menyelamatkan manusia dari kesengsaraan; dan suatu hari nanti Hizbut Tahrir yang agung ini juga akan menjadi penyelamat bagi Anda dari kehinaan yang Anda buat sendiri.
Mendengar itu, ia pun sangat marah. Dan ia mulai mencaci Hizbut Tahrir, amirnya, dan para aktivisnya. Sikapnya itu telah membakar kemarahan saya, maka saya membalasnya melebihi apa yang ia katakan. Ia semakin marah, bahkan ia mengancam kelanjutan pendidikan saya dan masa depan saya. Kemudian, ia memerintahkan penjara 15 hari bagi saya.
Dan kemudian mereka membawa saya kembali ke penjara. Kemudian mereka kembali membawa saya kepadanya. Ia mulai bersumpah dan mengancam hingga saya menandatangani perjanjian. Namun, saya tidak menanggapinya dan tidak mempedulikannya. Kemudian ia berkata, Sungguh, saya akan memaksa Anda untuk menandatanganinya. Saya tetap tidak mempedulikannya. Kemudian, ia memanggil 6 orang pengawalnya. Ia meminta mereka untuk mendudukkan saya di atas kursi, yang 4 orang memegang tangan kiri saya dan menariknya ke belakang punggung saya, sementara yang 2 orang berusaha menaruh pena di tangan saya, namun saya melawan dan menggenggam tangan saya erat-erat hingga pena tidak dapat masuk. Dan Alhamdulillah, mereka tidak berhasil.
Selanjutnya, datang Wakil Jaksa (Penuntut Umum), dan membawa saya ke dalam ruang yang lain. Ia mengatakan kepada saya bahwa ia tidak setuju dengan metode kekerasan yang digunakan terhadap saya untuk memaksa saya menandatangani perjanjian. Ia mulai berbicara dengan kata-kata yang manis dalam upaya untuk meyakinkan saya agar mau bertanndatangan, seperti perkataannya, Ini bukan apa-apa, ini hanya sekedar kertas yang tidak penting. Ia menyodorkan kertas kepada saya agar saya menandatanganinya. Saya membacanya, dan saya berkata, Saya tidak akan pernah bertandatangan.
Kemudian, ia menyodorkan kertas lain, dengan cara lain, lalu saya katakan, Saya tidak akan pernah bertandatangan. Kemudian, ia berkata kepada saya, Bertandatanganlah di atas kertas putih ini! Saya berkata, Subhanallah! Saya tidak mungkin menandatangani sesuatu yang tidak jelas? Kemudian ia menyodorkan kertas putih kepada saya, dan berkata, Tulislah apa yang Anda inginkan, lalu tandatanganinya. Saya merobek kertas itu. Kemudian, ia memberi saya kertas lain, dan berkata kepada saya, Berpikirlah! Tulislah apa yang Anda inginkan, lalu tandatanganinya. Saya pun berpikir. Lalu saya menulis di atas kertas itu teks berikut ini: Saya yang bertanda tangan di bawah ini, fulan bin fulan, dari kota ini, tinggal di tempat ini, diantara syabab (aktivis) Hizbut Tahrir, dimana saya begitu bangga dapat bergabung dengannya. Saya memutuskan bahwa saya akan tetap bergabung dengan Hizbut Tahrir, melakukan dakwah kepada kebaikan (Islam), amar makruf nahi mungkar, melakukan perjuangan politik, serangan pemikiran, serta akan selalu berpartisipasi dalam setiap kegiatan Hizbut Tahrir dan aktivitasnya, seperti masirah (unjuk rasa), dan sebagainya. Dan kemudian saya menandatanganinya. Ia memperhatikannya, kemudian ia tampak mengahapus beberapa hal yang aku tidak tahu maksud dari tindakannya. Kemudian setelah itu baru ia memerintahkan untuk melepaskan saya.
Mereka membawa saya ke sebuah kota yang saya tidak mengenali jalannya. Saya tidak tahu bagaimana saya pergi dan ke mana saya harus pergi. Sementara, saya tidak ada uang sama sekali untuk ongkos naik kendaraan untuk pulang kembali ke kota saya. Sehingga akhirnya Allah mengirim orang baik kepada saya untuk membantu saya pulang kembali ke rumah saya. Inilah apa yang terjadi pada saya. Dan hanya kepada Allah, saya memohon pahala, ampunan, kesehatan, dan kekuatan.

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 10/2/2010.

Kamis, 26 Oktober 2017

HUKUM ISBAL DALAM ISLAM

Tanya :
Ustadz, apa hukumnya isbal (mengulurkan celana atau sarung) melampaui mata kaki bagi laki-laki?
Jawab :
Isbal artinya mengulurkan sesuatu (sarung, celana, jubah, dll) dari atas sampai ke bawah melampaui mata kaki. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 139; Sa’di Abu Jaib, Al Qamus Al Fiqhi, hlm. 111).
Hukum isbal bagi laki-laki dirinci sebagai berikut, Pertama, isbal karena sombong, hukumnya haram. Dalilnya hadis Ibnu Umar RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ جَرَ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang mengulurkan bajunya [melampaui mata kaki] karena sombong maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada Hari Kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim). Imam Syaukani mengatakan hadis ini menunjukkan haramnya isbal karena sombong (khuyala`). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 328).
Kedua, isbal bukan karena sombong, hukumnya tidak haram, tapi makruh. Ini pendapat jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. (Nashir bin Muhammad bin Misyri Al Ghamidi; Libasur Rajul Ahkamuhu wa Dhawabithuhu, Juz I hlm. 703).
Dalil tidak haramnya isbal jika bukan karena sombong, adalah mafhum mukhalafah (makna tersirat yang berkebalikan dari makna yang tersurat) dari hadis Ibnu Umar RA di atas. Imam Syaukani menjelaskan kata khuyala` (sombong) dalam hadis tersebut merupakan taqyid (batasan). Maka mafhum mukhalafah-nya adalah ‘siapa pun yang mengulurkan bajunya [melampaui mata kaki] bukan karena sombong, berarti tidak terkena ancaman dalam hadis itu’. Imam Syaukani –rahimahullah– menyatakan :
و ظاهر التقييد بقوله خيلاء يدل بمفهومه أن جر الثوب لغير الخيلاء لا يكون داخلا في هذا الوعيد
“Zhahirnya taqyiid (batasan) dengan sabda Nabi SAW “khuyala`” (karena sombong), mafhum mukhalafahnya menunjukkan bahwa mengulurkan baju bagi orang yang tidak sombong tidaklah termasuk dalam ancaman ini.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 328).
Selain mafhum mukhalafah ini, terdapat manthuq (makna tersurat) dari nash yang tak mengharamkan isbal jika bukan karena sombong. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ جَرَ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ إِنَ أَحَدَ شِقَيْ إِزَارِيْ يَسْتَرْخِيْ إِلاَ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ، فَقَالَ إِنَكَ لَسْتَ مِمَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ
“Barangsiapa mengulurkan bajunya [melampaui mata kaki] karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada Hari Kiamat.’ Abu Bakar kemudian berkata,’Sesungguhnya salah satu ujung sarungku selalu terulur [melampaui mata kaki] kecuali aku sengaja mengikatnya.’ Maka Rasululullah SAW bersabda,’Sesungguhnya engkau tak termasuk orang yang mengerjakan perbuatan itu karena sombong.” (HR Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa`i). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 327; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/158).
Hadis ini menunjukkan isbal bukan karena sombong tidak haram. Namun tidak haram bukan berarti hukumnya mubah, melainkan makruh. Sebab terdapat nash-nash yang melarang isbal secara mutlak, baik karena sombong maupun tidak. Dari Jabir bin Sulaim RA, Nabi SAW pernah bersabda :
وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلىَ نِصْفِ السَاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلىَ الْكَعْبَيْنِ وَإِيَاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَهَا مِنَ الْمَخِيْلَةِ وَإِنَ اللهَ لاَ يُحِبُ الْمَخِيْلَةِ
”Angkatlah sarungmu hingga pertengahan betis. Kalau kamu enggan, angkatlah hingga ke mata kaki. Hindarkan dirimu dari isbal pada sarung, karena isbal itu merupakan kesombongan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai kesombongan.” (HR Abu Dawud, Nasa`i, dan Tirmidzi). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 328).
Hadis ini menunjukkan larangan isbal secara mutlak, baik karena sombong maupun tidak. Maka isbal tidak karena sombong pun, tetap terkena larangan mutlak ini. Namun demikian, isbal yang bukan karena sombong hukumnya makruh, bukan haram. Karena terdapat qarinah yang masih membolehkan isbal asalkan tidak sombong, yaitu hadis Ibnu Umar tentang kisah Abu Bakar di atas. Jadi, isbal yang bukan karena sombong hukumnya makruh. Imam Syaukani menukilkan pendapat Imam Nawawi sebagai berikut :
قال النووي إنه مكروه وهذَا نص الشافعي قال البويطي في مختصره عن الشافعي لا يجوز السدل في الصلاة ولا في غيرها للخيلاء ولغيرها خفيف لقول النبي صلى الله عليه وسلم لأبي بكر، انتهى
“Imam Nawawi berkata,’Sesungguhnya hal itu [isbal bukan karena sombong] adalah makruh, dan inilah nash dari Imam Syafi’i. Imam Al Buwaithi telah mengatakan dalam kitab Mukhtashar-nya dari Imam Syafi’i bahwa tidak boleh isbal baik dalam sholat maupun di luar sholat bagi orang yang sombong. Adapun orang yang tidak sombong maka ada keringanan berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Abu Bakar. Selesai kutipan.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 328).
Memang ada sebagian ulama yang mengharamkan isbal secara mutlak, yakni isbal karena sombong maupun tidak, seperti Qadhi ‘Iyadh, Imam Ibnul ‘Arabi, dan Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani. Namun Imam Syaukani menolak pendapat ini. Karena pendapat ini berarti tak mengamalkan hadis muqayyad (yang mengandung taqyid/batasan), yakni kata khuyala` (sombong) dalam hadis Bukhari tersebut. Padahal hadis yang mutlak (yaitu hadits Jabir bin Sulaim RA di atas) maupun yang muqayyad seharusnya diamalkan semua, dengan mengkompromikan nash mutlak dan nash muqayyad, sesuai kaidah ushul fiqih : yuhmal al muthlaq ‘ala al muqayyad wajib (membawa nash yang mutlak kepada nash yang muqayyad adalah wajib). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 328; ‘Amir bin Isa Al Lahwu, Manhaj Al Imam Al Syaukani fi Daf’i Al Ta’arudh Baina Al Adillah Al Syar’iyah, hlm. 14).
Kesimpulannya, isbal karena sombong hukumnya haram. Jika bukan karena sombong, hukumnya tidak haram, tapi makruh. Inilah hukum syara’ tentang isbal yang kami rajihkan. Wallahu a’lam. (Ustadz Siddiq Aljawi)

Minggu, 22 Oktober 2017

REVOLT'NRISE

Tulisan ini dibuat bukan untuk memuaskan dahaga caci maki atau sekedar kata kata gagah sebagai hiburan ditengah keputusasaan ditindas kapitalis. 
Tetapi tulisan ini dibuat untuk menggerakan perlawanan menumbangkan kapitalis.

Maka bergeraklah menyebarkan Ide ini dan mengajak semua orang untuk melawan, meski sekali lebih berarti dari menulis ribuan tulisan Indah dan kata kata gagah.



 Download all in one disini



http://www.mediafire.com/file/4nkcc46w19g1udk/Revolt%20N%27%20Rise%20MINIZINE%20%28Restricted%20Area%29.zip


atau bisa mampir ke 

https://www.facebook.com/REVOLTANDRISE/?ti=as




Kamis, 19 Oktober 2017

DHARB AL-'ALAQAT

Masyarakat merupakan kumpulan individu yang memiliki perasaan dan pemikiran yang sama serta diatur oleh aturan yang sama. Aturan yang diterapkan dalam suatu masyarakat muncul dari adanya perasaan dan pemikiran yang sama. Perasaan dan pemikiran ini lahir dari pemahaman (mafâhîm), tolok ukur yang digunakan (maqâyîs), dan sikap menerima terhadap aturan (qanâ‘ât). Dalam implementasinya, dari perasaan dan pemikiran yang sama itulah mewujud sistem kehidupan yang mengatur interaksi antar anggota masyarakat; baik menyangkut ibadah, akhlak, sosial, politik, ekonomi, maupun budaya masyarakat tersebut. Dari sini terbentuklah suatu masyarakat yang di dalamnya meliputi anggota masyarakat (rakyat), sistem aturan yang diterapkan, dan penguasa yang menerapkan aturan tersebut.  Dengan kata lain, keberadaan sistem aturan tersebut menghadirkan hubungan ('alâqah) rakyat dengan penguasanya.

Selama kebanyakan masyarakat memiliki kepercayaan (tsiqah) terhadap sistem kehidupan tersebut maka 'alâqah akan tetap ada. Selama itu pula tidak akan terjadi perubahan masyarakat.  Demikian juga, perubahan masyarakat tidak akan terjadi selama rakyat memiliki ke-tsiqah-an kepada penguasa yang menerapkan sistem itu. Jadi, kelanggengan suatu masyarakat bergantung pada ada-tidaknya 'alâqah antara rakyat dan penguasa yang ditentukan oleh ke-tsiqah-an masyarakat terhadap sistem kehidupan dan penguasa yang menerapkannya.

Untuk mengubah masyarakat yang menerapkan ideologi Kapitalisme menjadi masyarakat Islam, misalnya, mutlak ada ’pemutusan hubungan tersebut’.  Konsekuensinya, 'alâqah seperti ini harus diputus, lalu diganti dengan alâqah atas dasar Islam. Itulah yang dimaksud dengan dharb al-alâqah (memutus hubungan).

Urgensi Dharb al-‘Alâqah

Inti dari dakwah Islam adalah perubahan. Allah Swt., sejak Nabi shallallaahu 'alayhi wa sallam di Makkah, menyatakan bahwa di dunia ini hanya ada dua jalan, yaitu jalan Allah dan jalan lainnya; manusia disuruh mengikuti jalan-Nya yang lurus itu (QS al-An‘am [6]: 153). Nabi shallallaahu 'alayhi wa sallam dan pengikutnya diperintahkan untuk menyeru manusia ke jalan Allah Pencipta alam (QS an-Nahl [16]: 125). Al-Qur'an pun diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam (QS al-Hadiid [57]: 9).

Realitas menunjukkan bahwa dakwah merupakan upaya mengubah ke-tsiqah-an. Masyarakat Arab dulunya percaya pada banyak tuhan, lalu dengan dakwah, kepercayaan ini diubah menjadi keyakinan kepada satu Tuhan; beralih dari politeisme ke tauhid. Ke-tsiqah-an pada aturan manusia berubah menjadi ke-tsiqah-an pada hukum Allah semata.  Ketika mereka ditanya secara retoris oleh Allah Swt. dalam salah satu surat Makkiyyah, “Bukankah Allah Hakim Yang seadil-adilnya?” (QS at-Tin [95]: 8), mereka menjawab “Balâ, syahidnâ. Ya, kami bersaksi."

Sejak hijrah ke Madinah, kehidupan jahiliyyah pun diganti menjadi kehidupan Islam yang menerapkan hukum Allah Swt. Setelah ke-tsiqah-an pada sistem kehidupan Jahiliyyah pudar, ke-tsiqah-an pun beralih pada sistem kehidupan Islam. Begitu juga, para pemimpin mereka sebelumnya tidak lagi mereka percayai. Kepercayaan mereka diberikan kepada ’pemimpin baru’ mereka, yakni Muhammad shallallaahu 'alayhi wa sallam beserta para shahabat pengikutnya.

Secara praktis, Nabi shallallaahu 'alayhi wa sallam sering merobohkan keyakinan masyarakat terhadap mafâhim, maqâyîs, dan qanâ‘ât jahiliyyah seraya menggantinya dengan mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât Islam. Beliau menyerang kepercayaan paganisme/keberhalaan, kehidupan yang dipandang manusia hanya di dunia, mengurangi timbangan, perasaan aib jika tidak membunuh bayi perempuan, dan sebagainya. Bukan hanya secara sistem, beliau pun merontokkan kepercayaan masyarakat kepada pemimpin mereka yang menerapkan dan menjaga sistem kehidupan tersebut. Sebagai contoh, Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam menyampaikan ayat:

]وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِّنْ نَّذِيرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِمْ مُّقْتَدُونَ ²قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ ءَابَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ ²فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ[

Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rasul itu) berkata, "Apakah (kalian akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untuk kalian (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kalian dapati bapak-bapak kalian menganutnya?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kalian diutus untuk menyampaikannya."  Karena itu, Kami membinasakan mereka. Kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu. (QS az-Zukhruuf [43]: 23-25).

Suatu waktu, salah seorang pemimpin Quraisy, Walid bin Mughirah berkata, “Wahyu didatangkan kepada Muhammad, bukan kepadaku, padahal aku kepala dan pemimpin Quraisy; juga tidak kepada Abu Mas‘ud Amr bin Umair ats-Tsaqafi sebagai pemimpin Tha'if.  Padahal kami adalah para pembesar dua kota."
Berkaitan dengan masalah ini, Allah Swt. menjelaskan bahwa Dia telah meninggikan Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam beberapa derajat. Beliau pun, kepada para sahabat dan masyarakat umum, menyampaikan wahyu Allah Rabb al-Âlamîn:

]وَقَالُوا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا الْقُرْءَانُ عَلَى رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ ²أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ[

Mereka berkata, "Mengapa al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang pembesar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?" Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia; Kami pun telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mengambil manfa'at atas sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu adalah lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. (QS az-Zukhruuf [43]: 31-32).

Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam juga menyampaikan bahwa pemimpin yang tidak benar kelak akan didakwa oleh pengikutnya. Beliau menyampaikan salah satu ayat Makkiyyah:

]قَالَ ادْخُلُوا فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِّنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ فِي النَّارِ كُلَّمَا دَخَلَتْ أُمَّةٌ لَعَنَتْ أُخْتَهَا حَتَّى إِذَا ادَّارَكُوا فِيهَا جَمِيعًا قَالَتْ أُخْرَاهُمْ ِلأُوْلاَهُمْ رَبَّنَا هَؤُلاَءِ أَضَلُّونَا فَئَاتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِنَ النَّارِ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَكِنْ لاَ تَعْلَمُونَ ²وَقَالَتْ أُولاَهُمْ ِلأُخْرَاهُمْ فَمَا كَانَ لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْسِبُونَ[

"Masuklah kalian ke dalam neraka bersama umat-umat dari golongan jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kalian. Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya, berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu, "Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami. Karena itu, datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka." Allah berfirman, "Masing-masing mendapat (siksaan), yang berlipat ganda, tetapi kalian tidak mengetahui". Berkata orang-orang yang masuk terdahulu di antara mereka kepada orang-orang yang masuk kemudian, "Kalian tidak mempunyai kelebihan sedikitpun atas kami. Karena itu, rasakanlah siksaan karena perbuatan yang telah kalian lakukan." (QS al-A‘raf [7]: 38-39).

Berdasarkan hal itu, terlihat bahwa Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wa sallam dalam menjalankan dakwahnya untuk perubahan sosial, melakukan dharb al-‘alâqah. Caranya: (1) menyerang sistem bathil yang berjalan sehingga masyarakat meninggalkannya seraya berpegang pada sistem Islam; (2) menunjukkan kezhaliman dan ketidaklayakan penguasa yang tetap menjalankan sistem bathil tersebut. Hasilnya, masyarakat Arab meninggalkan sistem Jahiliyyah​, lalu beralih menerapkan sistem Islam.

Di samping berdasarkan contoh Nabi shallallaahu 'alayhi wa sallam, realitas pun meniscayakan adanya dharb al-'alâqah. Saat ini mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât yang diterapkan di masyarakat Islam berasal dari akidah sekularisme yang menjelma dalam ideologi Kapitalisme.  Kepercayaan bahwa kehidupan dunia tidak boleh diatur oleh Islam, negara diurus negarawan sedangkan agama diurus oleh rohaniwan, serta masalah jasmani diatur sains dan teknologi sementara ruhani urusannya para ustadz merupakan sebagian mafâhîm yang lahir dari sekularisme.  Maqâyîs/tolok ukurnya pun berupa kemaslahatan yang ditetapkan oleh logika manusia. Sementara itu, masih dipercaya bahwa ukuran benar-salah pun relatif, bergantung waktu dan tempat. Selama mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât sekular ini dijadikan pegangan oleh masyarakat, selama itu pula kehidupan Islam tidak akan terwujud. Demikian pula, selama kepercayaan masyarakat masih diberikan kepada para penguasa yang menerapkan aturan kehidupan sekular tersebut, perubahan masyarakat menjadi masyarakat islami tidak akan terjadi.  Karenanya, salah satu aktivitas dakwah untuk mengubah masyarakat menuju penerapan syariat Islam adalah dharb al-‘alâqah. Tanpa dharb al-‘alâqah tidak akan terjadi perubahan secara mendasar; kalau toh terjadi perubahan, itu hanyalah pergantian orang, bukan pergantian sistem kehidupan. Padahal, problem kehidupan sekarang justru terletak pada sistem sekularisme-kapitalisme yang memang bathil, selain problem orang yang menerapkannya.  

Bentuk Dharb al-'Alâqah

Dharb al-'alâqah dilakukan baik terhadap sistem sekular yang diterapkan maupun terhadap penguasa yang menerapkan sistem tersebut. Ketika masyarakat sudah tidak menaruh kepercayaan (tsiqah) pada sistem sekular karena pertentangannya dengan Islam, niscaya loyalitasnya tidak akan diberikan kepada siapapun yang berupaya menjaga dan menerapkan sekularisme. Berbeda dengan itu, jika masyarakat tidak tsiqah pada penguasanya, tetapi tetap tsiqah pada sekularisme, maka yang akan terjadi hanyalah pergantian orang saja; sementara sistem kehidupan yang diterapkan sama saja, sama-sama Kapitalisme atas dasar sekularisme.  Berdasarkan hal ini, dharb al-'alâqah sejatinya dilakukan baik terhadap sistem maupun terhadap orang yang menerapkannya.

Bentuk dharb al-'alâqah adalah:

1. Menanamkan mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât Islam.  Di sini, penting untuk terus-menerus dilakukan upaya pembinaan masyarakat dengan akidah maupun syari'ah (ibadah, makanan, minuman, akhlak, sosial, politik, ekonomi, hukum, kebudayaan, dan lain-lain).  Lebih dari itu, penanaman mafâhîm dan maqâyîs perlu dilakukan sedemikian rupa sehingga membentuk dan mengokohkan cara berpikir Islam (’aqliyyah islâmiyyah). Qanâ‘ât Islam terus ditanamkan sehingga terwujud sikap jiwa Islam (nafsiyyah Islâmiyyah).  Keduanya akan membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah islâmiyyah).  Penanaman  mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât Islam dilakukan baik pada pembinaan kader/intensif (tatsqîf murakkaz) maupun dalam pembinaan umum (tatsqîf jamâ‘i) lewat seminar, kajian tematik, pengajian masjid, tabligh akbar, talk show, buletin, majalah, atau surat kabar.

2. Mengungkap keburukan mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât sekularisme. Hal-hal mendasar seperti pemisahan agama dengan kehidupan, demokrasi, hak asasi manusia (HAM), pluralisme, emansipasi wanita, jender, relativitas kebenaran, sikap moderat, dan lainnya terus ditunjukkan hakikat dan kebatilannya serta pertentangannya dengan Islam. Upaya mengungkap keburukan mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât sekularisme ini dilakukan dengan pergolakan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî).

3. Mengungkap keburukan penguasa seperti berbagai kejahatan yang dilakukannya, keberpihakan pada konglomerat dan asing yang dijalankannya, sikap abainya terhadap masyarakat, bahaya tindakan politik yang diambilnya baik terhadap Islam, umat, maupun kesatuan negeri Muslim, dan sebagainya. Setiap gerak-gerik penguasa, baik menyangkut kebijakan politik maupun kebijakan yang berkaitan dengan kemaslahatan publik, perlu ditelaah. Dengan penelaahan secara jeli, hakikat tindakan politik maupun kebijakannya akan diketahui.  Lalu, tinjau hal tersebut melalui kacamata mafâhîm, maqâyîs, dan qanâ‘ât Islam. Jika terdapat pertentangan dengan Islam maka hal tersebut disampaikan kepada masyarakat maupun penguasa.  Caranya dengan melakukan perjuangan politik (kifâh siyâsi), baik membongkar hakikat rencana kebijakan dan strateginya (kasyf al-khuththath) maupun menunjukkan mana yang semestinya dilakukan demi kemashlahatan umat (tabanni mashâlih al-ummah).

Itulah urgensi dharb al-'alâqah. Jadi, gerakan dakwah urgen melakukan upaya dharb al-'alâqah demi terciptanya perubahan masyarakat. Dengan dharb al-'alâqah masyarakat akan tahu hakikat kebobrokan sistem sekularisme, siapapun penguasanya, dan menyadari hakikat kebaikan Islam. Konsekuensinya, masyarakat yang tercerahkan akan melepaskan sekularisme tersebut, seraya mengalihkan loyalitasnya pada Islam dan orang-orang yang benar-benar ikhlas menegakkannya.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Oleh: Dr. Ir. Muhammad Rahmat Kurnia, M.Si (Pakar Politik Islam)

Selasa, 17 Oktober 2017

Bahaya Ikhtilat Menurut Hukum Islam

Apakah Ikhtilath Itu?


Ikhtilath artinya adalah bertemunya laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara laki-laki dan wanita itu (misal bicara, bersentuhan, berdesak-desakan, dll). (Said Al Qahthani, Al Ikhtilat, hlm. 7).

Contoh ikhtilat, para penumpang laki-laki dan perempuan yang berada di suatu gerbong kereta api yang sama secara berdesakan-desakan. Jika seseorang pernah menumpang KRL Jabotabek jurusan Jakarta-Bogor pada jam-jam sibuk (jam masuk kerja atau pulang kerja), sangat mungkin dia terjebak dalam ikhtilat. Karena dalam KA Jabotabek itu para penumpang laki-laki dan perempuan berada dalam gerbong yang sama dan saling berdesak-desakan satu sama lain.

Contoh ikhtilat lainnya, para penumpang laki-laki dan perempuan dalam bus Trans Jakarta. Pada jam-jam sibuk para penumpang itu dipastikan akan berdesak-desakan. Kondisi seperti itu disebut ikhtilat.
Contoh lainnya, misalkan di sebuah restoran, dalam satu meja ada laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, mereka makan dan ngobrol bersama. Ini juga ikhtilat.

Ikhtilat hukumnya haram dan merupakan dosa menurut syariah (Hukum Islam), meskipun disayangkan kaum muslimin banyak yang melakukannya.
Mungkin itu karena ketidaktahuan mereka akan hukum Islam, atau mungkin karena terpengaruh oleh gaya hidup kaum kafir dari Barat yang serba boleh, yang tidak mengindahkan halal haram.

Di samping haram, ikhtilat juga berbahaya, karena mudah menjadi jalan untuk kemaksiatan-kemaksiatan lain yang merusak akhlak, seperti memandang aurat, terjadinya pelecehan seksual, terjadinya perzinaan, dan sebagainya. Banyak kitab karya para ulama yang khusus menerangkan bahaya-bahaya ikhtilat itu, seperti :
(1) kitab Khuthurah Al Ikhtilath (Bahaya Ikhtlath), karya Syaikh Nada Abu Ahmad;
(2) kitab Al Ikhtilath Ashlus Syarr fi Dimaar Al Umam wal Usar (Ikhtilat Sumber Keburukan bagi Kehancuran Berbagai Umat dan Keluarga), karya Syaikh Abu Nashr Al Imam, dan
(3) kitab Al Ikhtilath wa Khatruhu ‘Alal Fardi wal Mujtama’ (Ikhtilat : Bahayanya Bagi Individu dan Masyarakat), karya Syaikh Nashr Ahmad As Suhaji, dan sebagainya.

 Kriteria Ikhtilat dan Keharamannya

Seperti dijelaskan di muka, pengertian ikhtilat adalah bertemunya laki-laki dan perempuan di suatu tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara laki-laki dan wanita itu. Maka berdasarkan pengertian ikhtilat itu, suatu pertemuan antara laki-laki dan peremuan baru disebut ikhtilat jika memenuhi dua kriteria secara bersamaan, yaitu :

Pertama
 adanya pertemuan (ijtima’) antara laki-laki dan perempuan di satu tempat yang sama, misalnya di gerbong kereta yang yang sama, di ruang yang sama, di bus yang sama, rumah yang sama, dan seterusnya.

Kedua
 terjadi interaksi (ittishal, khilthah) antara laki-laki dan perempuan, misalnya berbicara, saling menyentuh, bersenggolan, berdesakan, dan sebagainya.

Jika perempuan dan laki-laki duduk berdampingan di suatu bus angkutan umum, tapi tidak terjadi interaksi apa-apa, maka kondisi itu tidak disebut ikhtilat (hukumnya tidak apa-apa). Tapi kalau di antara mereka lalu terjadi interaksi, misalnya perbincangan, kenalan, dan seterusnya, maka baru disebut ikhtilat (haram hukumnya). Sebaliknya kalau di antara laki-laki dan perempuan terjadi interaksi, misalnya berbicara, tapi melalui telepon, maka tidak disebut ikhtilat karena mereka tidak berada di satu tempat atau tidak terjadi pertemuan (ijtima’) di antara keduanya.

Jadi yang disebut ikhtilat itu harus memenuhi 2 (dua) kriteria secara bersamaan, yaitu :
(1) adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu tempat, dan
(2) terjadi interaksi di antara laki-laki dan perempuan itu.

Mengapa ikhtilat diharamkan? Karena melanggar perintah syariah untuk melakukan infishal, yaitu keterpisahan antara komunitas laki-laki dan perempuan.
Dalam kehidupan Islami yang dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW di Madinah dahulu, komunitas laki-laki dan perempuan wajib dipisahkan dalam kehidupan, tidak boleh campur baur. Misalnya, dalam shalat jamaah di masjid, shaf (barisan) laki-laki dan perempuan diatur secara terpisah, yaitu shaf laki-laki di depan yang dekat imam, sedang shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki. Demikian pula setelah selesai shalat jamaah di masjid, Rasulullah SAW mengatur agar jamaah perempuan keluar masjid lebih dahulu, baru kemudian jamaah laki-laki. Pada saat Rasulullah SAW menyampaikan ajaran Islam di masjid, laki-laki dan perempuan juga terpisah. Ada kalanya terpisah secara waktu (hari pengajiannya berbeda), ada kalanya terpisah secara tempat. Yaitu jamaah perempuan berada di belakang jamaah laki-laki, atau kadang jamaah perempuan diatur terletak di samping jamaah laki-laki. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhamul Ijtima`i fil Islam, hlm. 35-36).

Namun demikian, ada perkecualian.
Dalam kehidupan publik, seperti di pasar, rumah sakit, masjid, sekolah, jalan raya, lapangan, kebun binatang, dan sebagainya, laki-laki dan perempuan dibolehkan melakukan ikhtilat, dengan 2 (dua) syarat, yaitu ;

Pertama
pertemuan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu untuk melakukan perbuatan yang dibolehkan syariah, seperti aktivitas jual beli, belajar mengajar, merawat orang sakit, pengajian di masjid, melakukan ibadah haji, dan sebagainya.

Kedua
 aktivitas yang dilakukan itu mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Jika tidak mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan, hukumnya tetap tidak boleh. Sebagai contoh ikhtilat yang dibolehkan, adalah jual beli. Misalkan penjualnya adalah seorang perempuan, dan pembelinya adalah seorang laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, boleh ada ikhtilat antara perempuan dan laki-laki itu, agar terjadi akad jual beli antara penjual dan pembeli. Ini berbeda dengan aktivitas yang tidak mengharuskan pertemuan laki-laki dan perempuan. Misalnya makan di restoran. Makan di restoran dapat dilakukan sendirian oleh seorang laki-laki, atau sendirian oleh seorang perempuan. Tak ada keharusan untuk terjadinya pertemuan antara laki-laki dan perempuan supaya bisa makan di restoran. Maka hukumnya tetap haram seorang laki-laki dan perempuan janjian untuk bertemu dan makan bersama di suatu restoran.
(Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhamul Ijtima`i fil Islam, hlm. 37).

Perlu diperhatikan juga, di samping dua syarat di atas, tentunya para laki-laki dan perempuan wajib mematuhi hukum-hukum syariah lainnya dalam kehidupan umum, misalnya kewajiban menundukkan pandangan (ghaddhul bashar), yaitu tidak memandang aurat (QS An Nuur : 30-31), kewajiban berbusana muslimah, yaitu kerudung (QS An Nuur : 31) dan jilbab atau baju kurung terusan (QS Al Ahzaab : 59), keharaman berkhalwat (berdua-duaan dengan lain jenis) (HR Ahmad), dan sebagainya.

Bahaya-Bahaya Ikhtilat

Sesungguhnya ikhtilat adalah jalan yang memudahkan terjadinya berbagai kemaksiatan. Antara lain :
(1) terjadinya khalwat, yaitu laki-laki yang berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahramnya. Sabda Rasulullah SAW,”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan, karena yang ketiganya adalah syaitan.” (HR Ahmad);

(2) terjadinya pelecehan seksual, seperti persentuhan antara laki-laki dan perempuan bukan mahram, dan sebagainya. Rasulullah SAW pernah bersabda,”Kedua mata zinanya adalah memandang [yang haram]; kedua telinga zinanya adalah mendengar [yang haram], lidah zinanya adalah berbicara [yang haram], tangan zinanya adalah menyentuh [yang haram], dan kaki zinanya adalah melangkah [kepada yang haram].” (HR Muslim).
Rasulullah SAW juga melarang laki-laki dan perempuan berdesak-desakan. Maka dari itu pada masa Rasulullah SAW para perempuan keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat, baru kemudian para laki-laki. (HR Bukhari, no 866 & 870).

(3) terjadinya perzinaan, yang diawali dengan ikhtilat. Imam Ibnul Qayyim pernah berkata dalam kitabnya At Thuruqul Hukmiyyah,”Ikhtilat antara para laki-laki dan perempuan, adalah sebab terjadinya banyak perbuatan keji (katsratul fawahisy) dan merajalelanya zina (intisyar az zina).”

Dan yang lebih mengerikan lagi, jika zina sudah merajalela di suatu negeri, maka akan terjadi kerusakan atau bencana umum bagi sebuah negeri. Sabda Rasulullah SAW,”Tidaklah merajalela perbuatan zina di suatu kaum, kecuali kematian pun akan merajalela di tengah kaum itu.” (HR Ahmad, dari ‘A`isyah RA).

Maka dari itu, jelaslah ikhtilat adalah perbuatan buruk yang wajib kita jauhi.
Jika tidak, berbagai kemaksiatan akan terjadi, dan bahaya kematian pun akan merajalela pula di tengah-tengah umat Islam.
Nauzhu billah min dzalik.


Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Siapakah ‘Aswaja’? Bagaimana Ciri-cirinya? ini penjelasannya

Banyak kelompok yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah wal Jamaah karena klaim kebenaran dan ahli surga, sementara yang lain bukan. Sebenarnya siapakah Ahlus Sunnah wal Jamaah? Apakah mazhab atau kelompok tertentu? Bagaimana ciri-cirinya?

Jawab:

Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebenarnya merupakan istilah baru. Pada zaman Nabi saw, istilah ini belum dikenal. Demikian juga pada zaman Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayyah dan permulaan zaman Khilafah ‘Abbasiyyah. Pada zaman itu, satu-satunya istilah yang digunakan adalah “Muslimûn”.1

Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini baru digunakan dan berkembang pada pertengahan zaman Khilafah ‘Abbasiyah untuk membedakannya dengan “Syî’ah”, yang mulai digunakan setelah terbunuhnya Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib di tangan kaum Khawarij. Istilah Syî’ah mulai digunakan, khususnya setelah peristiwa tersebut, dan setelah ‘Am al-Jamâ’ah (Tahun Rekonsiliasi) terjadi pada masa Khalifah al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Namun, pemilahan antara Syî’ah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah ini sudah mulai mengerucut. Orang yang menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini pertama kalinya adalah Muhammad bin Sirin (w. 110 H), sebagaimana yang dituturkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahîh-nya dengan sanad dari Ibn Sirin, bahwa dia berkata, “Dulu mereka tidak mempertanyakan tentang isnâd, namun setelah terjadi fitnah, mereka mengatakan, ‘Sebutkanlah tokoh-tokoh [perawi] kalian kepada kami.’ Kemudian ditunjukkanlah Ahlus Sunnah, lalu hadis mereka pun diambil. Ditunjukkan pula ahli bid’ah, lalu hadits mereka pun ditolak.”2

Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri artinya adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi saw., dan menjaga kesatuan jamaah (Khilafah) kaum Muslim. Ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang menyatakan:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Kalian harus berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin setelah aku. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah dengan gigi geraham (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Hakim. Dia berkata, “Berdasarkan syarat dua kitab Shahih [Bukhari dan Muslim]”).

Orang yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin—yaitu mengikuti, mengamalkan dan menjaganya—inilah yang disebut Ahlus Sunnah. Adapun al-Jamâ’ah adalah sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi saw.:

مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ حُجَّةَ لَهُ. وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة

Siapa saja yang melepaskan diri dari ketaatan (kepada Imam/Khalifah), maka dia pasti menghadap Allah pada Hari Kiamat tanpa hujjah (yang mendukungnya). Siapa saja yang mati, sementara di atas lehernya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), maka dia mati dalam keadaan mati Jahiliah (HR Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra.).

Konotasi hadis ini diperkuat oleh hadis lain:

مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَكَأَنَّمَا خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ

Siapa saja yang memisahkan diri dari Jamaah kaum Muslim (Khilafah) sejengkal saja, maka dia seperti melepaskan diri ikatan Islam dari lehernya (HR Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra.).

Ini menunjukkan kewajiban untuk menjaga Jamaah (Khilafah) yang menyatukan kata/suara kaum Muslim. Sebaliknya, haram memisahkan diri dari jamaah tersebut. Konotasi ini juga diperkuat oleh hadis Nabi saw., yang dituturkan oleh Hudzaifah al-Yaman.3

Inilah makna Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), yang berarti manhaj (jalan/tuntunan); bukan kelompok atau mazhab akidah, sebagaimana yang kemudian digunakan oleh Mutakallimin, dengan konotasi Asy’ariyyah, Mâturidiyyah dan Thahâwiyyah. Dengan konotasi yang sama, yaitu mazhab, maka istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini kemudian dijadikan sebagai doktrin organisasi, yang kemudian disebut Doktrin Aswaja, singkatan dari Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Doktrin ini lebih sempit lagi, karena membatasi pandangan keagamaan di bidang akidah berdasarkan Asy’ariyyah dan Mâturidiyyah; di bidang fikih mengikuti Madzâhib al-Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali); di bidang tasawuf mengikuti Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) atau Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H). Di luar itu, dianggap tidak sama dengan kelompoknya, atau bukan Aswaja. Sebut saja, Ibn Taimiyyah (w. 728 H) dengan murid-muridnya, seperti Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dan Ibn Katsir (w. 774 H), dengan Salafi-nya, yang notabene mengikuti mazhab Hanbali. Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H), dengan Dhâhiri-nya. Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M) dengan Hizb at-Tahrîr-nya. Semuanya, oleh penganut Doktrin Aswaja ini, tidak dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah karena dianggap berbeda dengan mereka.

Ini akibat penyempitan konotasi Ahlus Sunnah wal Jamaah berdasarkan kelompok atau mazhab mereka. Padahal istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini sebenarnya memiliki cakupan yang lebih luas, meliputi siapa saja yang mengikuti sunah Nabi saw., dan menjaga Jamaah (Khilafah) kaum Muslim, bukan hanya kelompok atau mazhab tertentu.

Dalam akidah, mereka mengikuti manhaj al-Quran, bukan ahli kalam. Karena itu akidah mereka kokoh, jauh dari perdebatan. Mereka menggunakan dalil qath’i, bukan dalil zhanni. Mereka juga meninggalkan pendetilan cabang yang tidak dinyatakan oleh dalil, baik dengan menggunakan mantik maupun dalil zhanni. Karena itu, dalam konteks ini, mazhab Ahlus Sunnah, dianggap tidak berbeda dengan Muktazilah dan Jabariah karena sama-sama menggunakan manhaj Mutakallimin. Ahlus Sunnah juga membahas hal yang sama sebagaimana ahli kalam yang lain. Misalnya, membahas sifat Allah, apakah sama atau berbeda dengan zat-Nya. Padahal, ini tidak pernah dibahas oleh Nabi saw., para Sahabat dan generasi sebelumnya.

Karena itulah, baik al-Iji (w. 756 H)4 maupun Ibn Hazm (w. 456 H), sepakat menyebut Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H), sebagai Jabariyyah Mutawasithah (Jabariyah Moderat).5 Dengan demikian, istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mereka gunakan itu hanya klaim belaka; termasuk klaim mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal dalam berakidah,6 padahal Imam Ahmad tidak pernah menyatakan apa yang mereka katakan. Misal, kemungkinan melihat Allah di dunia, jelas tidak pernah dinyatakan oleh Imam Ahmad.

Lebih parah lagi, Doktrin Aswaja ini juga digunakan untuk mendukung penguasa yang menerapkan paham dan hukum kufur. Doktrin ini pernah digunakan untuk mendukung Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme), dengan justifikasi taat pada perintah ulî al-amri bi ad-dharûrati as-syaukah. Doktrin yang sama juga digunakan untuk mempertahankan rezim otoriter, demokrasi dan negara sekular. Di sisi lain, doktrin ini digunakan untuk menyerang perjuangan menerapkan syariah Islam dan menegakkan Khilafah.

Harus dicatat, bahwa ciri Ahlus Sunnah wal Jamaah memang menjaga Jamaah kaum Muslim, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis Nabi saw. di atas. Namun, jamaah yang dimaksud di sini adalah Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Meski namanya Khilafah, dan penguasanya disebut Khalifah, kalau terbukti melanggar hukum syariah, tetap wajib dikoreksi. Tindakan Sayidina Husain bin ‘Ali (w. 65 H) ketika berjuang mengembalikan Khilafah agar sesuai dengan tuntunan kakeknya, Nabi Muhammad saw., saat melawan Yazid bin Mu’awiyah adalah contoh. Hal yang sama dilakukan oleh ‘Abdullah bin Zubair (w. 73 H).

Pertanyaannya, jika benar Doktrin Aswaja ini tidak boleh melakukan perlawanan terhadap penguasa yang melanggar hukum syariah, bahkan kalau dia terbukti telah menerapkan hukum Kufur, berarti Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi saw, dan Sayyidina ‘Abdullah bin Zubair, cucu Abu Bakar as-Shiddiq ra., bukan Ahlus Sunnah wal Jamaah karena jelas-jelas mereka mengangkat senjata untuk mengembalikan Khilafah saat itu agar sesuai dengan Minhaj an-Nubuwwah.

Karena itu umat Islam harus mewaspadai penyesatan opini (tadhlîl fikrî) yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, baik yang menggunakan baju intelektual, ulama maupun organisasi, demi mempertahankan rezim dan negara sekular, serta menghalangi dan memusuhi perjuangan untuk mengembalikan Khilafah berdasarkan Minhaj an-Nubuwwah.

Ketika upaya ini sudah terbongkar, dan dukungan pada perjuangan untuk mengembalikan Khilafah ini pun telah menjadi opini umum, maka serangannya pun mereka arahkan bukan pada gagasan Khilafahnya, tetapi kepada para pengembannya. Karena itu mereka pun mengatakan, “Kami setuju dengan Khilafah. Menegakkan Khilafah adalah wajib. Namun, kami tidak setuju dengan Hizbut Tahrir.” Dengan berbagai dalih, bahwa Hizbut Tahrir itu begini dan begitu.

Pernyataan seperti ini sesungguhnya sama tujuannya, meski tampak berbeda. Karena orang-orang Kafir dan antek-antek mereka tahu, bahwa Hizbut Tahrirlah yang mengembalikan kesadaran umat tentang Khilafah. Hizbut Tahrirlah yang mempunyai konsep (master plan) dan peta jalan (road map) yang jelas menuju ke sana. Jadi, kalau dukungan umat kepada Hizbut Tahrir berhasil mereka tarik, maka Khilafah yang mengancam kepentingan mereka itu pun tidak akan pernah ada.

Dengan kata lain, keberhasilan melumpuhkan Hizbut Tahrir berarti keberhasilan mengaborsi lahirnya kembali Khilafah.
 WalLahu a’lam.

 [KH. Hafidz Abdurrahman]