Beberapa tahun terakhir ini, aktivitas demonstrasi, unjuk rasa, atau
aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat
semakin marak. Apa sesungguhnya hukum demonstrasi menurut pandangan
Islam?
Demonstrasi ataupun unjuk rasa merupakan salah satu cara untuk
menampakkan aspirasi ataupun pendapat masyarakat (ta‘bîr ar-ra’yi)
secara berkelompok. Secara umum, aktivitas menampakkan aspirasi atau
pendapat (ta‘bîr ar-ra’yi) di dalam Islam adalah perkara yang dibolehkan
(mubah). Hukumnya sama seperti kita mengungkapkan pandangan atau
pendapat tentang suatu perkara. Hanya saja, hal ini dilakukan oleh
sekelompok orang.
Di dalam terminologi bahasa Arab, demonstrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Muzhâharah (demonstrasi), yaitu aksi sekelompok masyarakat di
tempat-tempat umum untuk menuntut perkara-perkara tertentu yang sudah
menjadi tugas negara atau para penanggung jawabnya. Para demonstran
dalam aksinya tersebut biasanya melakukan pengrusakan, penghancuran, dan
pembakaran barang-barang milik negara ataupun barang-barang milik
individu.
2. Masîrah (unjuk rasa), hampir sama dengan demonstrasi, yaitu aksi
sekelompok masyarakat untuk mendukung atau menuntut sesuatu. Akan
tetapi, tidak disertai pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran atas
barang-barang milik umum maupun khusus (milik individu).
Dengan demikian, muzhâharah (demonstrasi) tidak diperbolehkan
(diharamkan) oleh Islam. Alasannya, di dalamnya disertai beberapa
aktivitas yang diharamkan oleh syariat Islam, seperti: mengganggu
ketertiban umum; merusak, menghancurkan, dan membakar fasilitas umum
maupun barang-barang milik individu masyarakat. Tidak jarang pula,
demonstrasi mengakibatkan perkelahian, penganiayaan, bahkan pembunuhan.
Pengharamannya di dasarkan pada fakta bahwa di dalam demonstrasi
terdapat sejumlah tindakan yang diharamkan oleh syariat Islam.
Meskipun demikian, ‘demonstrasi’ yang dilakukan dengan tertib;
memperhatikan syariat Islam, termasuk menyangkut pendapat/aspirasi yang
disampaikan; tanpa kekerasan; tidak mengganggu ketertiban umum dan
hak-hak masyarakat; tidak membakar, merusak, dan menghancurkan
barang-barang milik umum, negara, maupun milik individu adalah
diperbolehkan. Inilah yang disebut dengan masîrah (unjuk rasa).
Masîrah (unjuk rasa) merupakan salah satu cara (uslûb) di antara
berbagai cara pengungkapan aspirasi atau pendapat (ta‘bîr ar-ra’yi).
Oleh karena itu, aktivitas masîrah (unjuk rasa) bukanlah metode
(tharîqah)—menurut Islam—dalam melakukan proses perubahan di masyarakat.
Apabila kondisinya memungkinkan, masîrah (unjuk rasa) dapat dilakukan.
Sebaliknya, apabila kondisinya tidak memungkinkan, masîrah (unjuk rasa)
tidak perlu dilakukan. Hal ini sesuai dengan hukum kebolehannya.
Rasulullah saw tidak pernah menjadikan dan menggunakan unjuk rasa
sebagai metode untuk mengubah masyarakat jahiliah di kota Makkah menjadi
masyarakat Islam. Memang, beliau pernah melakukan aktivitas masîrah
satu kali di kota Makkah. Beliau memerintahkan kaum Muslim keluar dan
berjalan membentuk dua shaf barisan. Satu dipimpin oleh ‘Umar ibn
al-Khaththab dan lainnya dipimpin oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib r.a.
Dengan diiringi suara takbir, kaum Muslim berjalan mengelilingi Ka’bah.
Yang dilakukan Rasulullah saw adalah mengambil salah satu cara (uslûb)
yang tidak pernah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain
sebelumnya, yang ditujukan dalam rangka mengekspose dakwah Islam.
Pandangan Islam yang menjadikan masîrah (unjuk rasa) sebagai uslûb
mengungkapkan aspirasi atau pendapat, yang bisa dilakukan bisa juga
tidak, sangat berbeda dengan pandangan masyarakat Sosialis dan Komunis.
Mereka menganggap muzhâharah (demonstrasi) sebagai salah satu metode
baku (tharîqah) dalam melakukan perubahan masyarakat. Bagi mereka,
demonstrasi adalah semacam antitesa untuk menggerakkan proses perubahan
masyarakat ke arah yang mereka inginkan. Oleh karena itu, apa pun akan
mereka lakukan; termasuk dengan jalan merusak, menghancurkan, dan
membakar fasilitas-fasilitas umum, negara, maupun barang-barang milik
individu.
Berdasarkan hal ini, masyarakat Sosialis atau Komunis telah menjadikan
muzhâharah (demonstrasi) sebagai metode baku dan ciri khas masyarakat
mereka dalam melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat. Keberadaan
demonstrasi adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar
proses perubahan dapat bergulir. Dalam skala yang lebih luas lagi,
mereka menyebutnya dengan revolusi rakyat. Dengan mengatasnamakan
rakyat, mereka berhak menghancurkan, merusak, dan membakar fasilitas dan
milik umum maupun milik individu. Tujuannya adalah untuk menghasilkan
sebuah sintesa, yaitu sebuah masyarakat Sosialis atau Komunis yang
mereka angan-angankan.
Bagi kaum Muslim, haram hukumnya melakukan demonstrasi (muzhâharah)
seperti yang dilakukan oleh kaum Sosialis maupun Komunis; yakni dengan
cara merusak, menghancurkan, dan membakar barang-barang milik
masyarakat, negara, maupun milik individu. Bagi kita, kaum Muslim, darah
seorang Muslim, harta kekayaan yang dimilikinya, dan kehormatannya
haram ditumpahkan, dirampas, dan dilanggar oleh Muslim lainnya. Syariat
Islam bahkan menjaga tiga perkara tersebut dalam pagar yang sangat
rapat. Pelanggaran terhadap tiga perkara itu digolongkan ke dalam
hukum-hukum hudûd, yaitu hukum yang bentuk pelanggaran dan sanksinya
hanya ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
وَمَا كَانَ لِمُـؤْمِنٍ وَلاَ مُـؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada pilihan (selain hukum Islam) tentang urusan mereka. (QS al-Ahzab [33]: 36)
0 komentar:
Posting Komentar