(diambil dari buku Filsafat Materialisme dan Sosialisme Dalam Kritik Ilmiah, karya Syamsuddin Ramadlan)
Pada dasarnya, sosialisme muncul sebagai bentuk penolakan dari kapitalisme. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, kapitalisme telah berimplikasi buruk terhadap nasib kaum buruh Eropa pada abad ke 19.
Di satu sisi, industrialisasi dengan kapitalisasinya telah mendorong dengan pesat laju produksi barang dan jasa, akan tetapi, di sisi yang lain, keduanya juga bertanggung jawab terhadap kesenjangan dan krisis sosial yang merugikan kaum buruh. Upah kerja rendah, jam kerja panjang, eksploitasi tenaga anak dan wanita, serta pabrik yang kurang --bahkan tidak-- memperhatikan keamanan kerja dan kesejahteraan kaum buruh,[1] telah mendorong para pemikir untuk meninjau kembali paradigma dasar kapitalisme.
Muncul kemudian Robert Owen (1771-1858) di Inggris, Saint Simon (1760-1825) dan Fourier (1772-1837) di Perancis. Mereka berusaha memperbaiki kondisi buruk akibat sistem kapitalisme dan mulai menyerukan gagasan sosialisme. Namun, usaha mereka tidak dibarengi dengan tindakan nyata, maupun konsepsi nyata mengenai tujuan dan strategi dari perbaikan itu. Akibatnya, teori-teori mereka dianggap sebagai khayalan semata (sosialisme utopis), terutama oleh Marx dan Engels.[2]
Karl Mark (1818-1883) dari Jerman, tampil ke depan. Ia juga mengecam keadaan ekonomi dan sosial yang bobrok akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalistik. Untuk mengubah kondisi masyarakat yang bobrok, Karl Mark berpendapat bahwa masyarakat harus diubah dengan perubahan radikal (revolusioner) bukan dengan perubahan tambal sulam.[3] Selanjutnya, Marx menyusun teori-teori sosial yang bertumpu pada hukum-hukum ilmiah. Ia menamakan teori sosialnya dengan nama Sosialisme Ilmiah (Scientific Socialism), untuk membedakan pahamnya dengan Sosialisme Utopis. Dalam menyusun teori-teori sosialnya Mark banyak dipengaruhi oleh filsuf Jerman Hegel (1770-1831, terutama filsafat Hegel tentang dialektika.[4] Ia dan seorang kawan dekatnya, Engels, menerbitkan berbagai macam karangan, salah satunya yang paling masyhur adalah Manifesto Komunis dan Das Kapital.[5]
Walaupun Mark pada satu sisi menyerang konsep filsafat idealisme[6], namun pada sisi lain ia mengadopsi filsafat ini untuk menjelaskan perkembangan (evolusi) masyarakat. Di tangan Karl Mark, konsep dialektika dijadikan sebagai pisau analisa sosial --terutama untuk menjelaskan kebobrokan sistem kapitalisme--, karena di dalamnya terkandung unsur yang lebih maju. Unsur dialektis ini ia perlukan untuk menjelaskan perkembangan masyarakat mulai dari masyarakat feudal, kapitalis, hingga sosialis. Untuk itu, Mark merumuskan teori dialektika materialisme (dialectical materialism). Selanjutnya, teori ini ia gunakan untuk menganalisa sejarah perkembangan masyarakat, yang ia sebut dengan materialisme historis (historical materialism).
Berdasar materialisme sejarah, Karl Mark menguraikan, bahwa kapitalisme akan runtuh oleh revolusi yang digerakkan kaum proletar untuk membuka jalan terwujudnya masyarakat sosialis-komunis.
Salah satu ide pokok yang membangun sosialisme-komunisme adalah konsep alienasi. Alienasi adalah suatu hubungan antara dua atau lebih orang atau bagian-bagian dirinya, dimana orang itu terpisah dari, menjadi asing pada, atau diasingkan dari, orang lain. Hal ini telah menjadi tema utama dalam literatur modern, seperti The Stranger (1942) Alber Camus, Nausea (1938) dan No Exit (1945) Jean Paul Sartre. Menurut Marx, kapitalisme akan membawa suatu konsekuensi dimana suatu individu menjadi terpisah dari dirinya sendiri, keluarga, teman dan pekerjaannya. Individu tidak menjadi individu yang utuh[7]. Menurut Marx alienasi berhubungan erat dengan kepemilikan individu. Bentuk alienasi yang paling pokok adalah alienasi buruh yang dijual bagaikan suatu benda. Seorang buruh telah menjual tenaga, keahliannya, waktunya kepada orang lain. Bisa dikatakan, bahwa seorang buruh telah menjual sebagian besar dari hidupnya kepada orang lain, atau karena orang lain --terutama pemilik modal-- telah menguasai atau memiliki buruh; sehingga berhak untuk "membeli" sebagian besar dari kehidupan sang buruh --ini tercermin dari panjangnya waktu kerja buruh. Buruh akhirnya benar-benar tidak memiliki arti diri yang utuh. Buruh benar-benar teralienasi hingga tidak dapat mengembangkan suatu hubungan yang lebih manusiawi dengan orang lain dalam situasi yang sama. Inilah yang disebut oleh Karl Marx sebagai manusia kapitalisme, yakni orang yang terpisah dari diri sendiri, orang lain, dan pekerjaannya. Kondisi inilah yang hendak diubah oleh Marx[8].
Konsep dasar lain yang membangun sosialisme-komunisme adalah filsafat materialisme. Secara umum Marx menyebutkan bahwa teori harus selalu dikaitkan dengan dunia nyata (materi), dan sebaliknya. Menurutnya, perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat lebih banyak disebabkan oleh perubahan-perubahan faktor ekonomi. Masyarakat berevolusi sejalan dengan berevolusinya alat-alat produksi. Walaupun ia menyerang madzhab Idealismenya Hegel, namun pokok-pokok filsafat aliran Idealisme terlihat masih berpengaruh kuat pada teori-teorinya. Marx hanya mengganti Absolute Spirit/Realitas Mutlak --yang oleh Hegel disebut dengan Tuhan--, dengan materi. Menurut Hegel, eksistensi jiwa yang mutlak ini secara bertahap akan semakin berkembang menjadi suatu tahap yang lebih tinggi dari kemerdekaan manusia. Jiwa dan materi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling terikat, saling bergantung, saling mempengaruhi, walaupun menurut Hegel, jiwa lebih penting dari materi.[9]
Marx menyerang idealisme Hegel ini, dengan memaparkan penekanan kepada materi --terutama hubungan-hubungan ekonomi, bukan pada ide. Dengan menekankan kepada materi, Marx mengklaim bahwa pandangannya adalah ilmiah, karena benda atau materi tunduk dengan analisa-analisa ilmiah. Dalam hubungan-hubungan ekonomi pun berjalan sesuai dengan hukum materi, ia juga tunduk dengan analisa-analisa ilmiah; Begitu pula sejarah, serta perubahan-perubahan masyarakat semuanya tunduk dengan analisa ilmiah.
Sedangkan evolusi masyarakat diterangkan dalam dialektika sejarah. Untuk memahami analisa Mark tentang sejarah, kita harus memahami terlebih dahulu dialektika materialisme.
Materialisme Dialektis
Ada dua paradigma dasar yang diambil oleh Mark dari ajaran Hegel. Pertama, gagasan mengenai dialektika, atau pertentangan antar segi-segi yang berlawanan. Kedua, gagasan bahwa semua akan berkembang terus. Mark menolak anggapan penganut aliran Idealisme yang menyatakan, bahwa dialektika hanya terjadi di alam abstrak; yakni dalam pikiran manusia. Mark menyatakan bahwa dialektika juga terjadi pada dunia kebendaan (materi).
Lahirlah kemudian konsep dialektika materialisme. Inti dari ajaran ini adalah bahwa setiap benda atau keadaan (phenomenon) selain mengandung kebenaran, pada saat yang sama ia memiliki lawanannya (opposite). Segi-segi yang berlawanan dan bertentangan satu dengan yang lain disebut dengan kontradiksi. Dari pertentangan-pertentangan ini akhirnya berakhir dengan kesetimbangan; atau benda tersebut telah dinegasikan. [10]
Berdasarkan hukum dialektik ini, akan terjadi gerak terus-menerus, sehingga timbul suatu negasi yang lebih baru. Negasi baru akan menjadi thesa baru, yang kemudian akan dicarikan anti thesanya, sampai muncul negasi-negasi baru. Begitu seterusnya. Negasi baru, dinyatakan sebagai kemenangan atas negasi lama, atau akibat terjadinya kontradiksi-kontradiksi dalam dirinya sendiri. Sehingga, baik obyek (materi) atau fenomena melahirkan benih-benih kontradiksi yang akan menjadi penghancur dirinya sendiri, yang kemudian diubah menjadi obyek atau fenomena yang lebih maju dari yang lama. Dengan demikian, negasi, lahir dari proses penghancuran atas negasi yang lama, yang dihasilkan dari kontradiksi-kontradiksi intern. Obyek atau fenomena akan terus bergerak dari arah yang rendah mutunya ke arah bentuk yang lebih tinggi mutunya. Dari yang sederhana ke arah yang lebih kompleks, sampai tercapai wujud sempurna (absolute) yang akan memutuskan rantai dialektis.
Materialisme Historis
Dialektika materialisme digunakan dasar oleh Marx untuk menerangkan perkembangan masyarakat mulai dari masyarakat sederhana (feodal) menuju masyarakat sosialis.[11] Inilah sebenarnya yang disebut dengan Materialisme Historis (historical materialism). Dalam Manifesto Partai Komunis, Karl Marx dan Friedrich Engels (1848), menyebutkan pada bab I. Kaum Borjuis dan Kaum Proletar," Sejarah dari semua masyarakat[12]: yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang-merdeka dan budak, patrisir dan plebejer[13], tuan bangsawan dan hamba, tukang-ahli[14] dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas, senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang tiada putus-putusnya, kadang-kadang dengan tersembunyi, kadang-kadang dengan terang-terangan, suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan-kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan. Dalam zaman permulaan sejarah, hampir di mana saja kita dapati suatu susunan rumit dari masyarakat yang terbagi menjadi berbagai golongan, menjadi banyak tingkatan kedudukan sosial. Di Roma purbakala terdapat kaum patrisir, kaum ksatria, kaum plebejer, kaum budak, dalam Zaman Tengah kaum tuan feodal, kaum vasal, kaum tukang-ahli, kaum tukang-pembantu, kaum malang, kaum hamba; di dalam hampir semua kelas ini terdapat lagi tingkatan-tingkatan bawahan. Masyarakat borjuis modern yang timbul dari runtuhan masyarakat feodal tidak menghilangkan pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas-kelas baru, syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau.."[15]
Dengan hukum dialektikanya, Mark menganalisa perkembangan masyarakat ditinjau dari perkembangan ekonomi -- perkembangan alat produksi--, mulai masyarakat feodal, menuju masyarakat kapitalis, kemudian berakhir dengan masyarakat ideal (sosialis). Walaupun di kemudian hari teori yang melandasi lahirnya masyarakat sosialis tidak berjalan sesuai dengan rancang bangun teori Dialektika Sejarah, namun Mark berhasil menyakinkan pengikutnya bahwa pertentangan kelas hanya bisa diakhiri dengan lahirnya masyarakat sosialis.[16]
Pada dialektika sejarah, Marx menempatkan keadaan ekonomi sebagai "materi". Akibatnya, dialektika sejarah sering juga disebut dengan "analisa ekonomi terhadap sejarah" (economic interpretation of history). Dengan hukum dialektis, masyarakat berkembang dari satu kondisi, yakni masyarakat feodal, menuju masyarakat dengan kondisi yang lebih maju (masyarakat kapitalis kemudian menuju sosialis)[17]. Menurut Marx, perkembangan dialektis mula-mula terjadi dalam basis (struktur bawah) dari masyarakat, yang kemudian menggerakkan struktur di atasnya. Basis dari masyarakat itu bersifat ekonomis dan terdiri dari dua aspek yaitu cara berproduksi (misalnya teknik dan alat-alat) dan hubungan ekonomi (misalnya sistem hak milik, pertukaran (exchange), dan distribusi barang). Di atas basis ekonomi berkembanglah struktur atas yang terdiri dari kebudayaan, ilmu pengetahuan, konsep-konsep hukum, kesenian, agama, dan ideologi. Sedangkan perubahan sosial politik disebabkan karena adanya perubahan pada basis ekonomi yang dilatarbelakangi pertentangan, atau kontradiksi dalam kepentingan-kepentingan terhadap tenaga-tenaga produktif. Sedangkan lokomotif dari perkembangan masyarakat adalah pertentangan antar kelas sosial.[18]
Dengan hukum dialektis, masyarakat berevolusi dari masyarakat feudal menuju masyarakat sosialis.` Pada masyarakat feodal, keadaan ekonomi masih sangat sederhana. Alat-alat produksi juga masih sederhana. Hukum-hukum sosial yang tumbuh di masyarakat feodalpun sangat sederhana. Dalam masyarakat semacam ini, biasanya menganut sistem ekonomi tertutup. Pertukaran dilakukan dengan barter barang.
Dengan sistem ini, pada masyarakat feodal tidak dijumpai sekelompok orang yang mendominasi pasar. Namun, pada saat produksi mengalami surplus, alat-alat produksi mulai berkembang, dan munculnya exchanger (alat tukar), masyarakat feodal berubah menuju masyarakat kapitalis. Ciri masyarakat kapitalis, adalah adanya pemilik modal, dan pekerja (buruh). Kapitalis, adalah orang yang memiliki modal produksi, sedangkan buruh adalah orang yang bekerja pada suatu industri, atau bekerja pada pemilik modal. Gerak dialektis akan terus berjlan, hingga pada suatu titik, kaum proletar akan memenangkan dialektika itu dengan membentuk masyarakat komunis.[19]
Marx berpendapat bahwa, perubahan masyarakat dari feodal menuju kapitalis, hingga berakhir pada masyarakat komunis, adalah perubahan yang tidak terhindarkan lagi. Ia berjalan dengan hukum dialektika sejarah. Dialektika sejarah adalah hukum sosial, ia adalah takdir bagi masyarakat. Dalam mewujudkan masyarakat komunis, kaum proletar memegang peranan penting, untuk merebut kekuasaan dari tangan kaum kapitalis, dan mengambil alih seluruh alat produksi melalui tahap transisi yang dinamakan diktatur proletariat, sebagai pintu gerbang tercapainya masyarakat komunis. Mark berkata, "Between capitalist and communist society lies the period of the revolutionary tranformation of the one into the other. There corresponds to this also a political transition period in which the state can be nothing but the revolutionary dictatorship of the proletariat"[20].(Antara masyarakat kapitalis dan komunis terdapat satu periode transisi revolusioner dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis. Ini sesuai dengan dengan adanya peralihan politik di mana sebuah negara tidak lain tidak bukan adalah diktator revolusioner dari kaum proletar").
Menurut Mark, pertarungan antara kapitalis dengan proletar merupakan pertentangan kelas terakhir yang akan mengakhiri proses dialektis; yaitu terbentuknya masyarakat komunis yang tidak mengenal adanya kelas (classes society) dimana masyarakat dibebaskan dari keterikatannya dengan milik pribadi, tidak ada eksploitasi, penindasan, dan paksaan. Namun anehnya, masyarakat komunis yang demikian itu harus dicapai dengan kekerasan dan paksaan. Marx menyatakan, " Force is the midwife of every old society pregnant with a new one" (Kekerasan adalah bidan untuk setiap masyarakat lama yang hamil tua dengan masyarakat baru".[21]
[1] Lihat Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik; ed.xvi; 1995; PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,bab v, Komunisme dan Istilah Demokrasi dalam Terminologi Komunis; hal. 77-78. Bandingkan pula dengan, ABC Dialektika Materialis; Leon Trotsky (1939); diterjemahkan dan diedit oleh Anonim (Desember 1998) dari Leon Trotsky, The ABC of Materialist Dialectics diterjemahkan sesuai teks dalam website In Defence of Marxism.
[2] ibid, hal. 78. Lihat juga dalam pengantar (edisi Inggris yang ditulis oleh Engels) Manifesto Partai Komunis, Karl Marx & Friedrich Engels (1848); Cetakan Ketiga Yayasan Pembaruan, Jakarta 1959. Sedangkan buku aslinya adalah Manifesto of the Communist Party, Balai Penerbitan Bahasa Asing, Moskow 1959, edisi bahasa Jerman Manifest der Kommunistischen Partei, Dietz Verlag, Berlin 1958, dan edisi bahasa Belanda Het Communistisch Manifest, Pegasus, Amsterdam 1948.
[3] Paham Marxisme mengkritik kontradiksi-kontradiksi di dalam sistem kapitalis yang muncul dari individu yang secara rasional memaksimalkan kepentingan-kepentingan pribadi mereka, tanpa memperhitungkan konsekuensinya bagi keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat secara keseluruhan. Maksimalisasi kepentingan individu, menurut thesis Marxis, mendorong produksi yang berlebihan, kemudian diikuti oleh kontraksi ekonomi dan pengangguran. Para pekerja menjadi semakin miskin dan kesenjangan antar kelas borjuis dan proletar atau kelas pekerja akhirnya akan memicu suatu revolusi sosialis tanpa kelas yang berlandaskan persamaan dan solidaritas. [Robert A. Isaak, International Political Economy (terj. Ekonomi Politik Internasional; pentj. Muhadi Sugiono; ed.I, Juli 1995, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta]
[4] Hegel berpendapat, bahwa apa yang dianggap kebenaran (truth) sebenarnya hanya merupakan sebagian saja dari kebenaran itu. Kebenaran dalam keseluruhannya hanya dapat ditangkap oleh pikiran melalui proses dialektik (proses dari thesis, anti thesis, ke sinthesis, kemudian dimulai lagi dari permulaan), sampai kebenaran yang ditangkap sempurna. Ketika kebenaran menyeluruh itu (absolute idea) tertangkap, maka putuslah rantai dialektika. Dengan demikian, Hegel telah mengenalkan jenis filsafat baru sebagai bantahan atas filsafat konvensional. Dengan kata lain, ia mengenalkan, bahwa sesuatu yang mengandung sebuah kebenaran, maka pada dasarnya pada sesuatu itu mengandung unsur kebalikannya juga. Lihat Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik; ed.xvi; 1995; PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,bab v, Komunisme dan Istilah Demokrasi dalam Terminologi Komunis.Lihat pula dalam, ABC Dialektika Materialis, Leon Trotsky (1939); Diterjemahkan dan diedit oleh Anonim (Desember 1998) dari Leon Trotsky, The ABC of Materialist Dialectics diterjemahkan sesuai teks dalam website In Defence of Marxism.
[5] Ibid, hal. 78
[6] Filsuf Hegel yang pemikirannya banyak mempengaruhi Mark, adalah penganut madzhab Idealisme. Mark menyerang madzhab idealisme, namun ia juga banyak menyerap pemikiran dari Hegel, salah satunya adalah filsafat dialektika
[7] Lyman Tower Sargent; A.R. Henry Sitanggang (pentj); Ideologi-ideologi Politik Kontemporer Sebuah Analisis Komparatif; 1987; Penerbit Erlangga; hal. 76-77
[8] ibid.hal. 80
[9] ibid, hal. 81
[10] Bandingkan dengan ABC Dialektika Materialis, Leon Trotsky (1939), Diterjemahkan dan diedit oleh Anonim (Desember 1998) dari Leon Trotsky, The ABC of Materialist Dialectics diterjemahkan sesuai teks dalam website In Defence of Marxism. Lihat pula literatur mereka, semisal, Takdir Historis bagi Doktrin Karl Marx, Vladimir Lenin (1913), diterbitkan dalam Pravda No. 50, 1 Maret 1913, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Stepan Apresyan (1963). Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Anonim (November 1998), diterjemahkan dari teks dalam Marxists' Internet Archive. Bandingkan pula dengan Ludwig Feuerbach dan Achir Filsafat Klasik Jerman, Friedrich Engels,1888, terbit di Stuttgart dalam tahun 1888. Di dalam buku ini juga dimuat ide-ide pokok mengenai dialektika materialis, keterpengaruhan terhadap pandangan-pandangan Hegel, dan lain-lain
[11] Lihat Karl Marx dan Friedrich Engels (1848), Manifesto Partai Komunis, Cetakan Ketiga Yayasan Pembaruan, Jakarta 1959.
[12] Borjuasi adalah klas kaum Kapitalis modern, pemilik-pemilik alat-alat produksi sosial dan pemakai-pemakai kerja upahan. Proletariat adalah klas kaum pekerja-upahan modern yang karena tidak mempunyai alat-alat produksi sendiri, terpaksa menjual tenaga kerja mereka untuk dapat hidup (Keterangan Engels pada edisi Inggris tahun 1888).
[13] Kaum patrisir dan plebejer adalah klas-klas di Roma Kuno. Kaum patrisir adalah klas pemilik tanah besar yang menguasai tanah dan negara. Kaum plebeyer (dari perkataan pleb -rakjat jelata) adalah klas wargakota yang merdeka, tetapi tidak mempunyai hak penuh sebagai wargakota. Untuk mengetahui klas-klas di Roma hingga soal yang sekecil-kecilnya lihatlah buku Engels, Asal-usul Keluarga, Hak Milik Perseorangan dan Negara.
[14] Tukang-ahli, yaitu seorang anggota penuh dari suata gilde, seorang ahli di dalam gilde, tetapi bukan kepala gilde.(Keterangan Engels pada edisi Inggris tahun 1888).
[15] Karl Marx dan Friedrich Engels (1848), Manifesto Partai Komunis, Cetakan Ketiga Yayasan Pembaruan, Jakarta 1959
[16] Tukang-ahli, yaitu seorang anggota penuh dari suata gilde, seorang ahli di dalam gilde, tetapi bukan kepala gilde.(Keterangan Engels pada edisi Inggris tahun 1888).
[17] Ibid. hal. 81
[18] Bandingkan dengan, Takdir Historis bagi Doktrin Karl Marx, Vladimir Lenin (1913), Diterbitkan dalam Pravda No. 50, 1 Maret 1913. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Stepan Apresyan (1963). Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Anonim (November 1998);diterjemahkan dari teks dalam Marxists' Internet Archive
[19] op.cit. hal. 82
[20] Vladimir. I. Lenin, State and Revolution, International Publishers, New York, 1932, hal. 71.
[21] Prof. Miriam Budiardjo, hal. 83.