selfie itu kebanyakan berujung pada TAKABBUR, RIYA, sedikitnya UJUB
buat cewek apalagi cowok, lebih baik hindari yang namanya foto selfie, nggak ada manfaatnya banyak mudharatnya
bila kita berfoto selfie lalu takjub
dengan hasil foto itu, bahkan mencari-cari pose terbaik dengan foto itu,
lalu mengagumi hasilnya, mengagumi diri sendiri, maka khawatir itu
termasuk UJUB
bila kita berfoto selfie lalu mengunggah
di media sosial, lalu berharap ianya di-komen, di-like, di-view atau
apalah, bahkan kita merasa senang ketika mendapatkan apresiasi, lalu
ber-selfie ria dengan alasan ingin mengunggahnya sehingga jadi semisal
seleb, maka kita masuk dalam perangkap RIYA
bila kita berfoto selfie, lalu dengannya
kita membanding-bandingkan dengan orang lainnya, merasa lebih baik dari
yang lain karenanya, merasa lebih hebat karenanya, jatuhlah kita pada
hal yang paling buruk yaitu TAKABBUR
ketiganya mematikan hati, membakar habis amal, dan membuatnya layu bahkan sebelum ia mekar
memang ini bahasan niat, dan tiada yang
mengetahuinya kecuali hati sendiri dan Allah, dan kami pun tiada ingin
menelisik maksud dalam hati, hanya sekedar bernasihat pada diri sendiri
dan juga menggugurkan kewajiban
teringat masa lalu, kami masih merasakan
masa dimana memfoto diri sendiri adalah aib, sesuatu yang aneh, tidak
biasa, dan cenderung gila, narsis di masa kami bukan sesuatu kebiasaan
zaman sekarang malah terbalik,
cewek-cewek Muslimah tanpa ada malu memasang fotonya di media sosial,
satu foto 9 frame, dengan pose wajah yang -innalillahi- segala macem,
saat malu sudah ditinggal, dimana lagi kemuliaan wanita?
Hukum Berfoto dalam Islam
Yang harus disepakati juga adalah bahwa
selfie ini adalah salah satu teknik berfoto, yaitu mengambil gambar
dengan dirinya sendiri, baik dengan tangannya sendiri ataupun alat,
bukan difoto atau diambil oleh orang lain. Dan kembali pada hukum asal
di dalam Islam, berfoto hukum asalnya adalah boleh, dengan segala
tekniknya, termasuk selfie. Maka bahasan kita mulai dari sini.
Tentang Selfie
Bukan pertama kalinya fenomena selfie
yang melanda Indonesia ini diingatkan sebagai sesuatu yang berbahaya.
Banyak ahli psikologi dan bahasan-bahasan tentang kejiwaan telah
memperingatkan hal ini.
Hasil penelitian Gwendolyn Seidman, associate professor di Albright College, menunjukkan
bahwa baik narsisme dan self-objectification (kecenderungan takjub pada
diri sendiri) terkait dengan menghabiskan waktu lebih banyak di media
sosial, juga kekerapan mengedit foto. Mengunggah foto selfie secara
sering juga berhubungan dengan tingginya tingkat narsisme dan
kecenderungan psikopat.
https://www.psychologytoday.com/blog/close-encounters/201501/are-selfies-sign-narcissism-and-psychopathy
Dr. Pamela Rutledge, Director Media
Psychology Research Centre, seperti dikutip dari Mashable.com, malah
berucap, “Berkaca dan memotret diri sendiri atauselfie adalah dua hal
yang berbeda. Dengan mematut diri di depan kaca menimbulkan pergerakan
yang nyata, sedangkan selfie lebih kepada imaji yang Anda ciptakan
sendiri demi mendapatkan perhatian dari orang lain. Hal yang demikian
menunjukkan seseorang yang kesepian, butuh pengakuan, selalu ingin
menjadi pusat perhatian dan biasanya tidak terlalu pintar.”
Dr. David Veale, konsultan psikiatri di
London, menyampaikan pada The Sunday Mirror: “2 dari 3 pasien yang
datang kepada saya dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD) sejak ramainya
handphone berkamera, mereka secara konsisten terus-menerus mengambil
gambar secara selfie dan memgunggahnya di media sosial”
Beberapa pendapat para ahli mengenai selfie ini juga bisa dibaca di tautan-tautan berikut,
http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-2601606/Take-lot-selfies-Then-MENTALLY-ILL-Two-thirds-patients-body-image-disorders-obsessively-photos-themselves.html
http://www.huffingtonpost.com/2014/03/25/selfie-addiction-mental-illness_n_5022090.html
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/01/hati-hati-laki-laki-yang-keranjingan-selfie-berpotensi-psikopat
Dari segi kejiwaan, selfie ini adalah
bagian daripada perlilaku narsis, yang diambil dari perilaku seorang
Yunani bernama Narcissus, yang terobsesi pada dirinya sendiri,
senantiasa bercermin dan kagum dengan pantulan imaji dirinya sendiri di
air, lama kelamaan jatuh tercebur dan mati karenanya. Perilaku narsis
inilah yang menjadi bahaya tatkala melakukan selfie.
Pandangan Islam Tentang Malu Sebagai Akhlak Islam
Pertama, Islam memandang rasa malu adalah akhlak yang sangat utama di dalam agama. Bahkan Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu” (HR Ibnu Majah)
Terlebih bagi wanita, rasa malu ini
adalah pakaian baginya, menjadi hiasan terbaik yang bisa dikenakan oleh
seorang wanita, karena Rasulullah juga berpesan, rasa malu itu tidak
mengakibatkan kecuali kebaikan.
Rasulullah juga bersabda,
“Keimanan itu ada 70 sekian cabang atau
keimanan itu ada 60 sekian cabang. Seutama-utamanya ialah ucapan ‘La
ilaha illallah’ dan serendah-rendahnya ialah menyingkirkan gangguan dari
jalan, dan malu itu adalah cabang dari keimanan” (HR Bukhari Muslim)
Bila seseorang betul-betul mengetahui
fakta selfie, maka mereka akan memahami betul bahwa selfie yang
dilakukan kebanyakan remaja Muslimah bahkan menjangkiti ibu-ibu pun,
bukan lagi terkait dengan teknik foto, namun sudah banyak masuk ke dalam
ranah perilaku narsis tadi, benar-benar sudah berlebihan.
Bagi yang memahami betul fenomena ini,
akan mengetahui tingkah polah kaum Muslimah yang desperately terlihat
cantik, mati-matian cari perhatian dan komentar dengan foto selfienya,
dengan berbagai macam pose, mimik, dan gaya, andalannya duck-face (wajah
dengan bibir yang dibuat seperti bebek).
Padahal Allah berpesan pada Muslimah,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
‘Hendaklah mereka tundukkan pandangannya, dan memelihara kemaluannya,
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak daripadanya’…” (QS 24:31)
Perintah Allah sudah jelas, bahwa wanita
harus menjaga diri mereka, menjaga rasa malu dan kemaluan, tidak justru
menampakkan perhiasannya, atau bahkan memamerkan dirinya pada publik.
Dalam ayat yang lain Allah singgung pula
tentang perilaku tabarruj, yaitu segala sesuatu tindakan berhias yang
ditujukan agar diperhatikan oleh lelaki.
“dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS 33:33)
Menurut Ibnu Mandzur, arti tabarruj
adalah wanita yang memperlihatkan keindahan dan perhiasannya dengan
sengaja kepada lelaki. Imam Qatadah menambahkan tatkala menafsirkan ayat
ini, bahwa tabarruj adalah wanita yang saat berjalan keluar dari
rumahnya berlenggak-lenggok lagi menggoda lelaki.
Sampai disini saja, kita semua harus
bermuhasabah, memang ini perkara amalan hati, namun alangkah baiknya
bila kita bertanya pada diri sendiri, apakah amanah yang Allah pinta
untuk kita jaga itu, rasa malu itu sudah kita tunaikan? Ataukah kita
menggerusnya terus-menerus dengan melatih memamerkan diri kita pada
oranglain? Salah satunya dengan selfie?
Kedua, bila kita memperhatikan
fakta secara mendalam, maka kita akan memperhatikan bahwa fenomena
selfie ini sangat berkaitan dengan materialisme. Bahwa segala sesuatu
diukur dengan kepuasan fisik, mencari perhatian dari yang fana dan
tertagih untuk melakukan hal tersebut terus-menerus. Karenanya bahaya
selfie ini dikhawatirkan akan mengantarkan kita paling banyak pada
takabbur, riya, dan paling sedikir sifat ujub, yang ketiganya adalah
penghancur amal salih.
Kita tidak sedang mengatakan bahwa
selfie pasti ujub, riya, takabbur, tidak pernah. Kita pun tidak membahas
halal dan haramnya. Selfie kita kembalikan lagi sebagai salah satu
teknik foto, dan berfoto adalah boleh. Namun apakah salah ketika kita
bernasihat bahwa hati-hati seringnya selfie ini berujung pada ujub,
riya, takabbur?
“Tiga dosa yang membinasakan, sifat
pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub seseorang
terhadap dirinya” (HR Thabrani)
Apa yang sebenarnya orang inginkan
tatkala melakukan selfie? Tentu ada banyak niat. Hanya saja bila kita
perhatikan kebanyakan foto yang dihasilkan? Berbagai pose yang dibuat
dengan mimik yang tak kalah ganasnya, mengagumi diri sendiri, takjub
pada diri sendiri, bukankah ini namanya ujub?
Naik lagi satu tingkat, selfie ini
dilakukan agar bisa diunggah ke media sosial, agar dikomentari dan
di-likes, mulailah dia berbuat karena orang lain, bukan karena Allah
Swt, bukankah ini namanya riya?
Naik lagi satu tingkat, dengan mengagumi
foto, dipuja-puji oleh orang lain, lalu dia menganggap dirinya lebih
dari orang lain, bukankah ini takabbur?
Bila diantara kita bebas daripada
sifat-sifat begitu, tentu kita bersyukur. Dan jikalau kita tidak
memiliki hal-hal seperti itu saat melakukan selfie, maka silakan saja.
Hanya saja hati-hati, hati yang berpenyakit, seringkali tidak menyadari.
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang berkecukupan, dan yang tidak menonjolkan diri” (HR Muslim)
Jadi jelas disini, tidak pernah
sekalipun saya menyatakan selfie itu haram, yang ada hanya nasihat dari
seorang Muslim pada Muslim yang lainnya. Jika ada kebaikan mudah-mudahan
kita dapat menyadari, bila tidak ada kebaikan maka campakkan saja.
oleh Ust Felix Siauw
ambil yang baik, tinggalka yang buruk
BalasHapussalam, http://www.islah.web.id/