Senin, 30 Desember 2013

ULAMA EMPAT MAZHAB MEWAJIBKAN KHILAFAH

Dalil Kewajiban Menegakkan Khilafah

Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu: Al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qaidah Syar’iyyah.

1. Dalil al-Quran.

Dalil al-Quran antara lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian." (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Wajh al-Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah: ayat ini telah memerintahkan kaum Muslimin untuk menaati ulil amri di antara mereka, yaitu para imam (khalifah). Perintah untuk menaati ulil amri ini adalah dalil tentang kewajiban mengangkat ulil amri. Sebab, tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menaati sesuatu yang tidak ada. (Abdullah Umar Sulaiman ad-Dumaiji, Al-Imamah al-‘Uzhma ‘inda Ahlus-Sunnah wa al-Jama’ah, (Kairo: t.p), 1987, hlm. 49).

Dalil al-Quran lainnya adalah firman Allah SWT:

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

"Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada kamu." (QS al-Maidah [5]: 48).

Wajh al-Istidlal dari ayat ini adalah: Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah saw. untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum Muslim dengan apa yang telah Allah turunkan (syariah Islam). Kaidah ushul fikih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah saw. hakikatnya adalah perintah kepada kaum Muslim selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah saw. saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah saw. Berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum Muslim seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan syariah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya Imam (Khalifah). Maka dari itu, ayat di atas, juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan hukum Allah, hakikatnya adalah dalil atas kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah), yang akan menegakkan syariah Islam itu (Ad-Dumaiji, Al-Imamah al-‘Uzhma, (Kairo: t.p), 1987, hlm. 49).

Dalil al-Quran lainnya adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS al-Baqarah [2]: 178), hudud (misal: had bagi pelaku zina dalam QS an-Nur [24]: 2 atau had bagi pencuri dalam QS al-Maidah [5]: 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang imam (khalifah). Ayat-ayat semisal ini juga menjadi dalil atas kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah) karena pelaksanaan ayat-ayat tersebut memang bergantung pada keberadaan imam/khalifah itu.

2. Dalil as-Sunnah.

Di antaranya adalah sabda Nabi Muhammad saw.:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فيِ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة

"Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), maka matinya adalah mati Jahiliahزط (HR Muslim).

Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang Muslim mati Jahiliah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Baiat itu tak ada kecuali baiat kepada Imam (Khalifah). Maka dari itu, hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Ad Dumaiji, Al-Imamah al-‘Uzhma [Kairo: t.p], 1987, hlm. 49.)

Dalil lainnya misalnya sabda Nabi saw.:

إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فيِ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ

"Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin)ز" (HR Abu Dawud).

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting (Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah, hlm. 11).

Dengan demikian, untuk kaum Muslimin yang jumlahnya lebih dari 1,5 miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekadar perjalanan, seperti penegakan syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang imam (khalifah) adalah wajib hukumnya.

3. Dalil Ijmak Sahabat.

Telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun, “Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam syariah dari Ijmak Sahabat dan tabi’in.” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).

Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Ketahuilah pula bahwa para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting saat mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, hlm. 7).

4. Kaidah Syariah.

Kaidah syariah menyatkan:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهَ فَهُوَ وَاجِبٌ

"Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya."

Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka dari itu kaidah syariah di atas juga merupakan dalil atas kewajiban adanya Khilafah (Ad-Dumaiji, Al-Imamah al-‘Uzhma, [Kairo: t.p], 1987, hlm. 49).


Ulama 4 Madzhab Mewajibkan Khilafah

Pada dasarnya, para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertugas melakukan tugas ri’âyah suûn al-ummah (pengaturan urusan umat).

Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).

Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205).

Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).

Imam ‘Alauddin al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi pun menyatakan, “Sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qadariah mengenai masalah ini sama sekali tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat, juga karena kebutuhan umat Islam terhadap imam yang agung tersebut; demi keterikatan dengan hukum; untuk menyelamatkan orang yang dizalimi dari orang yang zalim; untuk memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam.” (Imam al-Kassani, Badâ’i ash-Shanai’ fî Tartîb asy-Syarâi’, XIV/406).

Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan, “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban tersebut di kalangan para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikutinya.” (Imam Umar bin Ali bin Adil, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).

Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Hamashi, menyatakan, “Fitnah akan muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang mengatur urusan manusia.” (Abu Ya’la al-Farra’i, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm.19).

Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali an-Najdat. Pendapat mereka benar-benar telah menyalahi Ijmak dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat.” (Imam Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ’, 1/124).

Di tempat lain, Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/87).

Taqarrub kepada Allah yang Paling Agung

Upaya menegakkan Khilafah Islamiyah termasuk aktivitas taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang paling agung. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Yang wajib adalah menjadikan kepemimpinan (imârah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk bertaqarrub kepada Allah. Taqarrub kepada Allah dalam hal imârah (kepemimpinan) yang dilakukan dengan cara menaati Allah dan Rasul-Nya adalah bagian dari taqarrub yang paling utama.” (Imam Ibnu Taimiyah, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, hlm. 161).

Al-’Allamah Ibnu Hajar al-Haitami juga menyatakan, “Ketahuilah juga bahwa para Sahabat ra. seluruhnya telah berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya masa kenabian adalah wajib. Bahkan mereka telah menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban yang paling penting. Buktinya, para Sahabat lebih menyibukkan diri dengan perkara ini dibandingkan dengan mengurusi jenazah Rasulullah saw. Perselisihan mereka dalam hal penentuan (siapa yang berhak menjadi imam) tidaklah merusak ijmak yang telah disebutkan tadi.” (Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).

Sayangnya, mayoritas umat Islam sekarang justru lebih menyibukkan diri dengan amal-amal sunnah, semacam zikir jama’i, gerakan sedekah, shalat dhuha, puasa sunnah dan lain-lain dibandingkan dengan melibatkan dirinya dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah. Ironisnya lagi, sebagian mereka malah menganggap perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah tidak lebih agung dan mulia daripada amal-amal sunnah tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga menganggap para pengemban dakwah Khilafah sebagai orang-orang yang tidak memiliki ketinggian ruh dan akhlaq. Padahal menegakkan Khilafah Islamiyah dan sibuk dalam aktivitas ini termasuk dalam bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah yang paling agung.

Tegaknya Khilafah: Janji Allah

Ulama empat mazhab juga telah menyatakan bahwa tegaknya Khilafah Islamiyah adalah janji Allah SWT kepada orang-orang Mukmin. Pasalnya, al-Quran telah menyebutkan janji ini (tegaknya kekhilafahan Islam) dengan jelas dan gamblang. Allah SWT berfirman;

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa." (QS an-Nur [24]: 55).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan, “Inilah janji dari Allah SWT kepada Rasulullah saw., bahwa Allah SWT akan menjadikan umat Nabi Muhammad saw. sebagai khulafâ’ al-ardh; yakni pemimpin dan pelindung manusia. Dengan merekalah (para khalifah) akan terjadi perbaikan negeri dan seluruh hamba Allah akan tunduk kepada mereka.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, VI/77).

Imam ath-Thabari juga menyatakan, “Sungguh, Allah akan mewariskan bumi kaum musyrik dari kalangan Arab dan non-Arab kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih. Sungguh pula, Allah akan menjadikan mereka sebagai penguasa dan pengaturnya.” (Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, XI/208).

Janji agung ini tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang beriman dan beramal salih pada generasi Sahabat belaka, namun berlaku juga sepanjang masa bagi orang-orang Mukmin yang beramal salih. Imam asy-Syaukani berkata, “Inilah janji dari Allah SWT kepada orang yang beriman kepada-Nya dan melaksanakan amal salih tentang Kekhilafahan bagi mereka di muka bumi, sebagaimana Allah pernah mengangkat sebagai penguasa orang-orang sebelum mereka. Inilah janji yang berlaku umum bagi seluruh generasi umat. Ada yang menyatakan bahwa janji ini hanya berlaku bagi Sahabat saja. Sesungguhnya, pendapat semacam ini tidak memiliki dasar sama sekali. Alasannya, iman dan amal salih tidak hanya khusus ada pada Sahabat saja, namun bisa saja dipenuhi oleh setiap generasi dari umat ini.” (Imam asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/241).

Dari uraian para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa tegaknya Khilafah Islamiyah adalah janji Allah SWT. Ini berarti bahwa Khilafah Islamiyah pasti akan ditegakkan atas izin Allah SWT. Seorang Muslim wajib mengimani bahwa Khilafah Islamiyah pasti akan tegak kembali. Seorang Muslim tidak diperkenankan sama sekali menyatakan bahwa perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah adalah perjuangan utopis, khayalan, mustahil, romantisme sejarah dan lain sebagainya. Pernyataan-pernyataan semacam itu merupakan bentuk pengingkaran dan peraguan terhadap janji Allah SWT.

Siapa saja yang mengingkari dan meragukan janji Allah maka akidahnya telah rusak dan binasa. Al-Quran telah menyatakan dengan jelas, bahwa janji Allah SWT pasti ditunaikan:

السَّمَاءُ مُنْفَطِرٌ بِهِ كَانَ وَعْدُهُ مَفْعُولا

"Langit pun menjadi pecah-belah pada hari itu karena Allah. Janji Allah pasti terlaksana" (QS al-Muzammil [73]: 18).

لا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٦)

"Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS ar-Rum [30]: 6).

Lalu mengapa kita tidak bersegera melibatkan diri dalam perjuangan yang penuh keagungan dan keberkahan ini?

Benar, perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah merupakan perjuangan penuh keagungan dan keberkahan. Pasalnya, ini adalah perjuangan yang direstui, yang dinyatakan oleh para ulama mu’tabar, dan dinaungi oleh janji Allah SWT, dan keberhasilannya menjadi sebab tegaknya hukum-hukum Allah SWT secara syâmil, kâmil dan mutakâmil.

0 komentar:

Posting Komentar