Apakah anda tahu bahwa Islam memiliki bendera yang khas? Ya, Islam
merupakan dien yang lengkap yang mengatur segala aspek hidup salah
satunya dalam masalah tata negara, termasuk pengaturan bendera.
Bendera Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. Di dalam
Khilafah Islam, bendera Rasulullah s.a.w terdiri dari:
AL LIWA :
AR RAYYAH :
Di
dalam bahasa Arab, bendera dinamai dengan liwa (jamaknya adalah
alwiyah). Sedangkan panji-panji perang dinamakan dengan rayah. Disebut
juga dengan al-‘alam.
Rayah adalah panji-panji yang
diserahkan kepada pemimpin peperangan, dimana seluruh pasukan berperang
di bawah naungannya. Sedangkan liwa adalah bendera yang menunjukan
posisi pemimpin pasukan, dan ia akan dibawa mengikuti posisi pemimpin
pasukan.
Liwa adalah al-‘alam (bendera) yang berukuran besar. Jadi, liwa adalah bendera Negara. Sedangkan rayah berbeda dengan al-‘alam.
Rayah
adalah bendera yang berukuran lebih kecil, yang diserahkan oleh
khalifah atau wakilnya kepada pemimpin perang serta komandan-komandan
pasukan Islam lainnya.
Rayah merupakan tanda yang menunjukan bahwa orang yang membawanya adalah pemimpin perang.
Liwa,
(bendera negara) berwarna putih, sedangkan rayah (panji-panji perang)
berwarna hitam. Banyak riwayat (hadith) warna liwa dan rayah, di
antaranya:
Rayah nya (panji peperangan) Rasulullah s.a.w
berwarna hitam, sedang benderanya (liwa-nya) berwarna putih (HR.
Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah)
Meskipun terdapat juga
hadith-hadisth lain yang menggambarkan warna-warna lain untuk liwa
(bendera) dan rayah (panji-panji perang), akan tetapi sebagian besar
ahli hadith meriwayatkan warna liwa dengan warna putih, dan rayah
dengan warna hitam.Tidak terdapat keterangan (teks nash) yang
menjelaskan ukuran bendera dan panji-panji Islam di masa Rasulullah
s.a.w, tetapi terdapat keterangan tentang bentuknya, iaitu persegi
empat.
Panji Rasulullah saw berwarna hitam, berbentuk segi empat
dan terbuat dari kain wol (HR. Tirmidzi) Al-Kittani mengetengahkan
sebuah hadist yang menyebutkan: Rasulullah s.a.w telah menyerahkan
kepada Ali sebuah panji berwarna putih, yang ukurannya sehasta kali
sehasta. Pada liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang) terdapat
tulisan Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah.
Pada
liwa yang berwarna dasar putih, tulisan itu berwarna hitam. Sedangkan
pada rayah yang berwarna dasar hitam, tulisannya berwarna putih. Hal
ini dijelaskan oleh Al-Kittani, yang berkata bahwa hadist-hadist
tersebut (yang menjelaskan tentang tulisan pada liwa dan rayah)
terdapat di dalam Musnad Imam Ahmad dan Tirmidzi, melalui jalur Ibnu
Abbas.
Imam Thabrani meriwayatkannya melalui jalur Buraidah al-Aslami, sedangkan Ibnu ‘Adi melalui jalur Abu Hurairah.
Begitu
juga hadith-hadith yang menunjukkan adanya lafadz Laa illaaha illa
Allah, Muhammad Rasulullah, pada bendera dan panji-panji perang,
terdapat pada kitab Fathul Bari.
Berdasarkan paparan tersebut
diatas, bendera Islam (liwa) di masa Rasulullah s.a.w adalah berwarna
putih, berbentuk segi empat dan di dalamnya terdapat tulisan Laa
illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah dengan warna hitam. Dan
panji-panji perang (rayah) di masa Rasulullah s.a.w berwarna dasar
hitam, berbentuk persegi empat, dengan tulisan di dalamnya Laa illaaha
illa Allah, Muhammad Rasulullah berwarna putih.
1.
Al-Liwa’ dan ar-Rayah secara bahasa keduanya berarti al-‘alam[u]
(bendera). Di dalam Al-Qâmûs al-Muhîth, pada pasal rawiya dinyatakan:
.... ar-rayah adalah al-‘alam[u] (bendera), jamaknya rayat….; dan pada
pasal lawiya dinyatakan: ….. alliwa’ adalah al-‘alam[u] (bendera),
dan jamaknya alwiyah.
Kemudian dari sisi penggunaannya, syariah telah memberikan makna syar‘i untuk masing-masing, sebagai berikut:
Al-Liwa’
berwarna putih, tertulis di atasnya Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad
Rasûlullâh dengan tulisan warna hitam. Ia diakadkan untuk amir brigade
pasukan atau komandan brigade pasukan. Al-Liwa’ itu menjadi pertanda
posisi amir atau komandan pasukan dan turut beredar sesuai peredaran
amir atau komandan pasukan itu.
Dalil penetapan al-Liwa untuk amir pasukan adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w masuk ke kota Makkah pada saat pembebasan Makkah,
sementara Liwa’ berwarna putih. (HR Ibn Majah dari Jabir)
Anas
juga menuturkan riwayat sebagaimana dituturkan an-Nasa’i: Sesungguhnya
ketika Rasulullah s.a.w mengangkat Usamah bin Zaid menjadi amir pasukan
untuk menggempur Romawi, baginda menyerahkan Liwa’ kepada Usamah
dengan tangan Beliau sendiri.
Ar-Rayah berwarna hitam; tertulis di atasnya Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh dengan warna putih.
Ar-Rayah berada bersama para komandan bagian-bagian pasukan (skuadron, detasemen dan gabungan pasukan yang lain).
Dalilnya
adalah bahwa Rasulullah s.a.w, ketika menjadi panglima pasukan di
Khaibar, baginda bersabda : “Sungguh, esok aku akan menyerahkan ar-rayah
ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta
dicintai Allah dan Rasul-Nya.” Lalu baginda menyerahkannya kepada Ali
bin Abi Thalib. (HR Muttafaq ‘alaih).
Ali ketika itu merupakan komandan batalion atau skuadron pasukan.
Demikian
juga di dalam hadith Harits bin Hasan al-Bakri yang mengatakan: Kami
tiba di Madinah, sementara Rasulullah s.a.w sedang berada di atas
mimbar dan Bilal berdiri di hadapan baginda sambil menggenggam pedang.
Saat itu terdapat rayah-rayah berwarna hitam. Lalu aku bertanya,
“Rayah apa ini?” Para sahabat menjawab,“Amru bin al-‘Ash baru tiba
dari peperangan.
”Makna frasa fa idza rayat sawd (saat itu
terdapat rayah rayah berwarna hitam) adalah bahwa pada waktu itu
terdapat banyak rayah bersama pasukan, sementara amirnya adalah satu
orang, yaitu Amru bin al-‘Ash. Ini artinya rayah itu berada bersama
para komandan skuadron atau gabungan.
Karena itu, al-Liwa’
diserahkan kepada amir pasukan, sedangkan ar-Rayah ada bersama
batalion, skuadron dan gabungan pasukan. Demikianlah, al-liwa’ hanya
satu untuk satu brigade pasukan dan ar-rayah dalam satu brigade
pasukan jumlahnya banyak.
Dengan begitu, al-Liwa’ adalah
bendera yang dibawa amir brigade, bukan orang lain, sementara ar-Rayah
menjadi panji-panji tentera.
2. Al-Liwa’ diakadkan kepada amir brigade dan menjadi petanda keberadaannya, yakni selalu menyertai amir brigade.
Adapun
di medan peperangan, komandan peperangan, baik ia amir brigade atau
komandan-komandan lainnya yang ditunjuk oleh amir brigade, diserahi
ar-rayah. Ar-Rayah itu ia bawa selama berperang di medan peperangan.
Kerana itu, ar-Rayah disebut Umm al-Harb (Induk Perang) & dibawa
bersama komandan tempur di medan peperangan. Kerana itu, dalam keadaan
sedang terjadi peperangan, tiap-tiap rayah berada bersama komandan
tempur.
Praktik demikian merupakan praktik yang dikenal
luas pada masa itu. Keberadaan ar-Rayah yang tetap berkibar menjadi
petanda kekuatan tempur komandan pertempuran. Ini merupakan pengaturan
yang bersifat administratif sesuai dengan tradisi berperang pasukan.
Rasulullah
s.a.w mengucapkan bela sungkawa atas gugurnya Zaid, Ja‘far, dan
Abdullah bin Rawahah sebelum brigade Perang Mu‘tah datang: Ar-Rayah
dipegang oleh Zaid, lalu ia gugur; kemudian diambil oleh Ja‘far, lalu
ia pun gugur; kemudian diambil oleh Ibn Rawahah, dan ia pun gugur.
Demikian pula, pada kondisi sedang terjadi peperangan, jika Khalifah
terus memimpin pertempuran maka al-Liwa’ boleh dikibarkan di medan
pertempuran, bukan hanya ar-Rayah. Telah dinyatakan di dalam Sîrah Ibn
Hisyâm dalam pembicaraan mengenai Perang Badar al-Kubra, bahwa
al-Liwa’ dan ar-Rayah, berada di medan pertempuran.
Adapun
dalam kondisi damai atau setelah berakhirnya pertempuran, maka
ar-Rayah tersebar di tengah brigade pasukan; dikibarkan oleh batalion,
skuadron, detasemen, dan gabungan pasukan. Hal itu sebagaimana yang
dijelaskan di dalam hadith penuturan Harits bin Hasan al-Bakri
mengenai brigade pasukan Amru bin al-‘Ash.
Dalam Islam,
Khalifah adalah panglima tentera. Kerana itu, al-Liwa’ dikibarkan di
tempat ia berada, yaitu Dâr al-Khilâfah. Praktik demikian adalah sesuai
dengan syariah, karena al-Liwa’ diakadkan untuk amir pasukan. Boleh
pula dikibarkan ar-rayah di Dâr al-Khilâfah secara adminitratif dengan
dasar bahawa Khalifah merupakan ketua organisasi negara. Adapun
terkait dengan instansi-instansi, institusi-institusi, dan
jawatan-jawatan maka disana dikibarkan ar-rayah saja, tanpa al-Liwa’.
Sebab, al-Liwa’ itu khusus untuk panglima pasukan sebagai tanda
keberadaan (posisi)-nya.
Al-Liwa diikatkan di ujung tombak dan
dililitkan. Al-Liwa’ diberikan untuk komandan-komandan resimen/brigade
sesuai dengan jumlah resimen/brigade yang ada. Masing-masing al-Liwa’
itu diakadkan untuk komandan resimen/brigade pertama, kedua, ketiga,
dan seterusnya…..; atau diakadkan untuk komandan resimen/brigade Syam,
Iraq, Palestina, dan seterusnya…. sesuai dengan penamaan pasukan.
Ketentuan
asal, hendaknya al-Liwa’ dililitkan di ujung tombak dan tidak
dikibarkan kecuali untuk suatu keperluan. Misalnya, di atas Dâr
al-Khilafah, al-Liwa’ dikibarkan karena pentingnya Dâr al-Khilafah.
Demikian pula, al-Liwa’ dikibarkan di atas khemah/markas komandan
brigade pada keadaan damai, agar umat menyaksikan al-Liwa’ pasukan
mereka. Akan tetapi, keperluan itu jika bertentangan dengan aspek
keamanan seperti ketika dikhuatirkan musuh akan mengetahui
khemah/markas komandan tentera, maka al-Liwa’ dikembalikan pada
ketentuan asal, iaitu dililitkan di hujung tombak dan tidak
dikibarkan.
Sementara itu, ar-Rayah dibiarkan tetap
berkibar ditiup angin sebagaimana bendera-bendera pada saat ini.
Ar-Rayah itu diletakkan di jawatan-jawatan (instansi-instansi) negara.
Ringkasnya adalah sebagai berikut:
Pertama, berkaitan dengan pasukan.
1.
Pada keadaan sedang terjadi peperangan, al-Liwa’ selalu menyertai
khemah amir (ketua) brigade pasukan. Ketentuan asalnya tidak
dikibarkan, tetapi tetap dililitkan di ujung tombak. Mungkin saja
dikibarkan setelah dilakukan kajian atas aspek keamanan. Di dalam
brigade pasukan itu terdapat ar-rayah yang dibawa oleh komandan
pertempuran di medan tempur. Jika Khalifah berada di medan tempur maka
al-liwa’ boleh juga dibawa.
2. Pada keadaan damai,
al-Liwa’ diakadkan untuk komandan resimen/brigade dan dililitkan di
ujung tombak. Mungkin saja dikibarkan di atas markas komandan-komandan
resimen/brigade. Ar-Rayah tersebar di dalam pasukan bersama batalion,
sekuadron, detasemen, dan gabungan pasukan lainnya. Mungkin saja
untuk tiap-tiap batalion atau skuadron memiliki rayah (panji) spesifik
yang menjadi cirinya (secara administrasi) dan dinaikkan bersama
ar-Rayah. Kedua, untuk tiap-tiap jawatan, instansi, dan
instansi-instansi keamanan negara dinaikkan rayah saja; kecuali Dâr
al- Khilâfah, juga dinaikkan al-Liwa’ kerana Khalifah adalah panglima
tentera. Boleh juga dinaikkan ar-Rayah bersama al-Liwa’ (secara
administrasi) kerana Dâr al-Khilâfah merupakan ketua organisasi
negara.
Organisasi-organisasi dan orang umum boleh
membawa ar-Rayah dan menaikkannya di atas organisasi dan rumah mereka,
khususnya pada hari-hari raya atau ketika (negara/pasukan) mendapat
kemenangan. Bendera dengan pasukan umat Islam inilah yang akan
membebaskan negeri negeri Islam dari penjajahan AS di Iraq,
Afgahanistan, dll serta penjajahan Zionis Yahudi di Palestina. Akan
mempersatukan ummah dalam Negara Khilafah dan membebaskan Masjidil
Aqsa dan akan menjadi bendera Negara Khilafah yang di janjikan oleh
Rasulullah s.a.w, Insya Allah.
Rabu, 15 Januari 2014
Mengenal panji Rasullulah,benderanya umat Islam
10.22
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar