Rabu, 15 Januari 2014

Mengenal panji Rasullulah,benderanya umat Islam

Apakah anda tahu bahwa Islam memiliki bendera yang khas? Ya, Islam merupakan dien yang lengkap yang mengatur segala aspek hidup salah satunya dalam masalah tata negara, termasuk pengaturan bendera. Bendera Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. Di dalam Khilafah Islam, bendera Rasulullah s.a.w terdiri dari:

AL LIWA :


AR RAYYAH :



Di dalam bahasa Arab, bendera dinamai dengan liwa (jamaknya adalah alwiyah). Sedangkan panji-panji perang dinamakan dengan rayah. Disebut juga dengan al-‘alam.

Rayah adalah panji-panji yang diserahkan kepada pemimpin peperangan, dimana seluruh pasukan berperang di bawah naungannya. Sedangkan liwa adalah bendera yang menunjukan posisi pemimpin pasukan, dan ia akan dibawa mengikuti posisi pemimpin pasukan.
Liwa adalah al-‘alam (bendera) yang berukuran besar. Jadi, liwa adalah bendera Negara. Sedangkan rayah berbeda dengan al-‘alam.

Rayah adalah bendera yang berukuran lebih kecil, yang diserahkan oleh khalifah atau wakilnya kepada pemimpin perang serta komandan-komandan pasukan Islam lainnya.
Rayah merupakan tanda yang menunjukan bahwa orang yang membawanya adalah pemimpin perang.

Liwa, (bendera negara) berwarna putih, sedangkan rayah (panji-panji perang) berwarna hitam. Banyak riwayat (hadith) warna liwa dan rayah, di antaranya:

Rayah nya (panji peperangan) Rasulullah s.a.w berwarna hitam, sedang benderanya (liwa-nya) berwarna putih (HR. Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah)
Meskipun terdapat juga hadith-hadisth lain yang menggambarkan warna-warna lain untuk liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang), akan tetapi sebagian besar ahli hadith meriwayatkan warna liwa dengan warna putih, dan rayah dengan warna hitam.Tidak terdapat keterangan (teks nash) yang menjelaskan ukuran bendera dan panji-panji Islam di masa Rasulullah s.a.w, tetapi terdapat keterangan tentang bentuknya, iaitu persegi empat.
Panji Rasulullah saw berwarna hitam, berbentuk segi empat dan terbuat dari kain wol (HR. Tirmidzi) Al-Kittani mengetengahkan sebuah hadist yang menyebutkan: Rasulullah s.a.w telah menyerahkan kepada Ali sebuah panji berwarna putih, yang ukurannya sehasta kali sehasta. Pada liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang) terdapat tulisan Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah.

Pada liwa yang berwarna dasar putih, tulisan itu berwarna hitam. Sedangkan pada rayah yang berwarna dasar hitam, tulisannya berwarna putih. Hal ini dijelaskan oleh Al-Kittani, yang berkata bahwa hadist-hadist tersebut (yang menjelaskan tentang tulisan pada liwa dan rayah) terdapat di dalam Musnad Imam Ahmad dan Tirmidzi, melalui jalur Ibnu Abbas.
Imam Thabrani meriwayatkannya melalui jalur Buraidah al-Aslami, sedangkan Ibnu ‘Adi melalui jalur Abu Hurairah.
Begitu juga hadith-hadith yang menunjukkan adanya lafadz Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah, pada bendera dan panji-panji perang, terdapat pada kitab Fathul Bari.
Berdasarkan paparan tersebut diatas, bendera Islam (liwa) di masa Rasulullah s.a.w adalah berwarna putih, berbentuk segi empat dan di dalamnya terdapat tulisan Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah dengan warna hitam. Dan panji-panji perang (rayah) di masa Rasulullah s.a.w berwarna dasar hitam, berbentuk persegi empat, dengan tulisan di dalamnya Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah berwarna putih.

1. Al-Liwa’ dan ar-Rayah secara bahasa keduanya berarti al-‘alam[u] (bendera). Di dalam Al-Qâmûs al-Muhîth, pada pasal rawiya dinyatakan: .... ar-rayah adalah al-‘alam[u] (bendera), jamaknya rayat….; dan pada pasal lawiya dinyatakan: ….. alliwa’ adalah al-‘alam[u] (bendera), dan jamaknya alwiyah.

Kemudian dari sisi penggunaannya, syariah telah memberikan makna syar‘i untuk masing-masing, sebagai berikut:
Al-Liwa’ berwarna putih, tertulis di atasnya Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh dengan tulisan warna hitam. Ia diakadkan untuk amir brigade pasukan atau komandan brigade pasukan. Al-Liwa’ itu menjadi pertanda posisi amir atau komandan pasukan dan turut beredar sesuai peredaran amir atau komandan pasukan itu.

Dalil penetapan al-Liwa untuk amir pasukan adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya Rasulullah s.a.w masuk ke kota Makkah pada saat pembebasan Makkah, sementara Liwa’ berwarna putih. (HR Ibn Majah dari Jabir)
Anas juga menuturkan riwayat sebagaimana dituturkan an-Nasa’i: Sesungguhnya ketika Rasulullah s.a.w mengangkat Usamah bin Zaid menjadi amir pasukan untuk menggempur Romawi, baginda menyerahkan Liwa’ kepada Usamah dengan tangan Beliau sendiri.
Ar-Rayah berwarna hitam; tertulis di atasnya Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh dengan warna putih.
Ar-Rayah berada bersama para komandan bagian-bagian pasukan (skuadron, detasemen dan gabungan pasukan yang lain).
Dalilnya adalah bahwa Rasulullah s.a.w, ketika menjadi panglima pasukan di Khaibar, baginda bersabda : “Sungguh, esok aku akan menyerahkan ar-rayah ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai Allah dan Rasul-Nya.” Lalu baginda menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib. (HR Muttafaq ‘alaih).
Ali ketika itu merupakan komandan batalion atau skuadron pasukan.
Demikian juga di dalam hadith Harits bin Hasan al-Bakri yang mengatakan: Kami tiba di Madinah, sementara Rasulullah s.a.w sedang berada di atas mimbar dan Bilal berdiri di hadapan baginda sambil menggenggam pedang. Saat itu terdapat rayah-rayah berwarna hitam. Lalu aku bertanya, “Rayah apa ini?” Para sahabat menjawab,“Amru bin al-‘Ash baru tiba dari peperangan.
”Makna frasa fa idza rayat sawd (saat itu terdapat rayah rayah berwarna hitam) adalah bahwa pada waktu itu terdapat banyak rayah bersama pasukan, sementara amirnya adalah satu orang, yaitu Amru bin al-‘Ash. Ini artinya rayah itu berada bersama para komandan skuadron atau gabungan.

Karena itu, al-Liwa’ diserahkan kepada amir pasukan, sedangkan ar-Rayah ada bersama batalion, skuadron dan gabungan pasukan. Demikianlah, al-liwa’ hanya satu untuk satu brigade pasukan dan ar-rayah dalam satu brigade pasukan jumlahnya banyak.
Dengan begitu, al-Liwa’ adalah bendera yang dibawa amir brigade, bukan orang lain, sementara ar-Rayah menjadi panji-panji tentera.

2. Al-Liwa’ diakadkan kepada amir brigade dan menjadi petanda keberadaannya, yakni selalu menyertai amir brigade.
Adapun di medan peperangan, komandan peperangan, baik ia amir brigade atau komandan-komandan lainnya yang ditunjuk oleh amir brigade, diserahi ar-rayah. Ar-Rayah itu ia bawa selama berperang di medan peperangan. Kerana itu, ar-Rayah disebut Umm al-Harb (Induk Perang) & dibawa bersama komandan tempur di medan peperangan. Kerana itu, dalam keadaan sedang terjadi peperangan, tiap-tiap rayah berada bersama komandan tempur.

Praktik demikian merupakan praktik yang dikenal luas pada masa itu. Keberadaan ar-Rayah yang tetap berkibar menjadi petanda kekuatan tempur komandan pertempuran. Ini merupakan pengaturan yang bersifat administratif sesuai dengan tradisi berperang pasukan.
Rasulullah s.a.w mengucapkan bela sungkawa atas gugurnya Zaid, Ja‘far, dan Abdullah bin Rawahah sebelum brigade Perang Mu‘tah datang: Ar-Rayah dipegang oleh Zaid, lalu ia gugur; kemudian diambil oleh Ja‘far, lalu ia pun gugur; kemudian diambil oleh Ibn Rawahah, dan ia pun gugur. Demikian pula, pada kondisi sedang terjadi peperangan, jika Khalifah terus memimpin pertempuran maka al-Liwa’ boleh dikibarkan di medan pertempuran, bukan hanya ar-Rayah. Telah dinyatakan di dalam Sîrah Ibn Hisyâm dalam pembicaraan mengenai Perang Badar al-Kubra, bahwa al-Liwa’ dan ar-Rayah, berada di medan pertempuran.

Adapun dalam kondisi damai atau setelah berakhirnya pertempuran, maka ar-Rayah tersebar di tengah brigade pasukan; dikibarkan oleh batalion, skuadron, detasemen, dan gabungan pasukan. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadith penuturan Harits bin Hasan al-Bakri mengenai brigade pasukan Amru bin al-‘Ash.
Dalam Islam, Khalifah adalah panglima tentera. Kerana itu, al-Liwa’ dikibarkan di tempat ia berada, yaitu Dâr al-Khilâfah. Praktik demikian adalah sesuai dengan syariah, karena al-Liwa’ diakadkan untuk amir pasukan. Boleh pula dikibarkan ar-rayah di Dâr al-Khilâfah secara adminitratif dengan dasar bahawa Khalifah merupakan ketua organisasi negara. Adapun terkait dengan instansi-instansi, institusi-institusi, dan jawatan-jawatan maka disana dikibarkan ar-rayah saja, tanpa al-Liwa’. Sebab, al-Liwa’ itu khusus untuk panglima pasukan sebagai tanda keberadaan (posisi)-nya.
Al-Liwa diikatkan di ujung tombak dan dililitkan. Al-Liwa’ diberikan untuk komandan-komandan resimen/brigade sesuai dengan jumlah resimen/brigade yang ada. Masing-masing al-Liwa’ itu diakadkan untuk komandan resimen/brigade pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya…..; atau diakadkan untuk komandan resimen/brigade Syam, Iraq, Palestina, dan seterusnya…. sesuai dengan penamaan pasukan.

Ketentuan asal, hendaknya al-Liwa’ dililitkan di ujung tombak dan tidak dikibarkan kecuali untuk suatu keperluan. Misalnya, di atas Dâr al-Khilafah, al-Liwa’ dikibarkan karena pentingnya Dâr al-Khilafah. Demikian pula, al-Liwa’ dikibarkan di atas khemah/markas komandan brigade pada keadaan damai, agar umat menyaksikan al-Liwa’ pasukan mereka. Akan tetapi, keperluan itu jika bertentangan dengan aspek keamanan seperti ketika dikhuatirkan musuh akan mengetahui khemah/markas komandan tentera, maka al-Liwa’ dikembalikan pada ketentuan asal, iaitu dililitkan di hujung tombak dan tidak dikibarkan.

Sementara itu, ar-Rayah dibiarkan tetap berkibar ditiup angin sebagaimana bendera-bendera pada saat ini. Ar-Rayah itu diletakkan di jawatan-jawatan (instansi-instansi) negara.

Ringkasnya adalah sebagai berikut:
Pertama, berkaitan dengan pasukan.

1. Pada keadaan sedang terjadi peperangan, al-Liwa’ selalu menyertai khemah amir (ketua) brigade pasukan. Ketentuan asalnya tidak dikibarkan, tetapi tetap dililitkan di ujung tombak. Mungkin saja dikibarkan setelah dilakukan kajian atas aspek keamanan. Di dalam brigade pasukan itu terdapat ar-rayah yang dibawa oleh komandan pertempuran di medan tempur. Jika Khalifah berada di medan tempur maka al-liwa’ boleh juga dibawa.

2. Pada keadaan damai, al-Liwa’ diakadkan untuk komandan resimen/brigade dan dililitkan di ujung tombak. Mungkin saja dikibarkan di atas markas komandan-komandan resimen/brigade. Ar-Rayah tersebar di dalam pasukan bersama batalion, sekuadron, detasemen, dan gabungan pasukan lainnya. Mungkin saja untuk tiap-tiap batalion atau skuadron memiliki rayah (panji) spesifik yang menjadi cirinya (secara administrasi) dan dinaikkan bersama ar-Rayah. Kedua, untuk tiap-tiap jawatan, instansi, dan instansi-instansi keamanan negara dinaikkan rayah saja; kecuali Dâr al- Khilâfah, juga dinaikkan al-Liwa’ kerana Khalifah adalah panglima tentera. Boleh juga dinaikkan ar-Rayah bersama al-Liwa’ (secara administrasi) kerana Dâr al-Khilâfah merupakan ketua organisasi negara.

Organisasi-organisasi dan orang umum boleh membawa ar-Rayah dan menaikkannya di atas organisasi dan rumah mereka, khususnya pada hari-hari raya atau ketika (negara/pasukan) mendapat kemenangan. Bendera dengan pasukan umat Islam inilah yang akan membebaskan negeri negeri Islam dari penjajahan AS di Iraq, Afgahanistan, dll serta penjajahan Zionis Yahudi di Palestina. Akan mempersatukan ummah dalam Negara Khilafah dan membebaskan Masjidil Aqsa dan akan menjadi bendera Negara Khilafah yang di janjikan oleh Rasulullah s.a.w, Insya Allah.


0 komentar:

Posting Komentar