Berapa hari yg lalu ada acara Debat di TV one tema nya GOLPUT HARAM ,dan sebelumnya masyarakat sudah tau dengan fatwa baru MUI hasil ijtima ulama di Padang Panjang
awal tahun 2009, yaitu 2 fatwa yang muncul ke permukaan, yaitu fatwa
haramnya rokok (dengan beberapa catatan) dan fatwa haramnya golput
(golongan putih) atau golongan yang tidak menggunakan hak pilihnya
ketika proses pemilihan umum. Dikutip dari naskahnya, fatwa itu berbunyi
sebagai berikut:
- Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
- Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
- Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat.
- Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
- Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Selanjutnya fatwa ini diikuti dengan
dua rekomendasi, yakni: (1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih
pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar;
(2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi
penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat,
sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Di masyarakat dan kalangan politik pun
muncul pro dan kontra ataskeputusan, ini. Nah, to the point, sampai saat
ini saya juga belum mendapatkan detail dalil yang dipakai oleh MUI
untuk menelurkan fatwa ini, tetapi kita akan sedikit membahas, seperti
apa indikasi yang ditunjukkan oleh fatwa ini.
Pertama, kita harus memahami terlebih
dahulu, bahwa pemilu itu sendiri ada 2 jenis, yaitu pemilu legislatif
dan pemilu pemimpin. Pemilu legislatif dalam Islam adalah akad wakalah,
atau akad perwakilan, yang mempunyai 4 rukun yaitu adanya: yang
mewakilkan, wakilnya, perkara yang diwakilkan, dan ucapan (redaksi)
perwakilan. Jika semua rukunnya dipenuhi maka akad perwakilannya sah,
apabila salah satunya tidak dipenuhi, maka akadnya menjadi tidak sah
(bathil).
Yang menjadi masalah, dalam memilih
wakil rakyat yang akan duduk di kursi legislatif, akad perwakilan ini
menjadi bathil, karena ada satu rukun yang bermasalah, yaitu rukun
“perkara yang diwakilkan”. Ketika kita mewakilkan kepada wakil rakat,
maka wakil rakyat itu nantinya akan melakukan tugasnya atas perwakilan
dari kita, apa saja tugas wakil rakyat: (1)fungsi legislasi (membuat
hukum), (2)fungsi anggaran, dan (3)fungsi mengoreksi penguasa. Dalam
pandangan Islam,hak membuat hukum hanyalah milik Allah semata, sehingga
tidak diperbolehkan bagi manusia untuk melakukan fungsi itu
Sesungguhnya hukum itu hanyalah hak Allah (TQS Yusuf [12]: 40)
Singkatnya, ketika kita memilih wakil
rakyat, sesungguhnya kita sedang memberikan perwakilan pada mereka untuk
melakukan dosa yangsangat besar, yaitu membuat hukum bagi manusia, atau
menjadi tandingan Allah sebagai satu-satunya yang layak untuk membuat
hukum. Ini perkara yang sangat bathil
Dan siapa yang tidak berhukum dengan aturan yang telah diturunkan oleh Allah, maka itulah orang-orang yang kafir (TQS al-Maaidah [5]: 44)
Adapun pemilihan pemimpin, maka ini
adalah perkara yang wajib didalam Islam, dan Islam mengharuskan adanya
pemimpin bagi jama’ah kaum muslim. Dan sangatlah tegas, di dalam Islam,
pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang ta’at pada Allah dan
Rasul-Nya serta memimpin dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah, dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin) diantara kalian,
dan bila kalian berselisih tentang segala sesuatu,maka kembalikanlah
kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hal seperti itu lebih utama
dan lebih baik akibatnya (TQS an-Nisaa [4]: 59)
dan pemimpin ini pun telah dibatasi oleh
rasulullah baik jumlahnya maupun sistemnya, pemimpin yang dimaksud
wajib untuk mengadakan dan mengangkatnya disini adalah khalifah yang
satu untuk seluruh kaum muslim, sebagaimana yang dimaksud dalam hadits
rasulullah saw.
Dulu Bani Israil diurus urusannya
(tasusu) oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, Nabi yang
lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku dan akan ada para khalifah,
yang berjumlah banyak” Para sahabat bertanya “Lalu apa yang engkau
perintahkan kepada kami?” Nabi saw. Bersabda: “Penuhilah baiat yang
pertama saja dan yang pertama saja (satu khalifah suntuk seluruh kaum
muslim), dan berikanlah kepada mereka hak mereka (ketaatan).
Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja
yang mereka urus (HR. Bukhari)
Sehingga dapat kita fahami, dalam
dalil-dalil diatas dan masih banyak lagi dalil yang lainnya,maka
pemimpin yang dimaksud dalam Islam adalah pemimpin yang satu untuk
seluruh muslim, menerapkan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam suatu bingkai
sistem kepemimpinan yang dinamakan khilafah. Inilah yang wajib untuk
diadakan dan diperjuangkan.
Fakta yang terjadi saat ini, pemimpin
yang dipilih dalam sistem sekuler (sistem yang dipakai hampir di seluruh
dunia, termasuk negeri kita), adalah pemimpin yang akan menerapkan
hukum sekuler, yaitu thaghut pengganti hukum Allah. Fungsi pemimpin
dalam sistem tidak ubahnya seperti masinis yang menjalankan keretanya,
rel dan tujuannya takkan pernah berubah walau pemimpinnya soleh. Atau
mudahnya, ketika kita memilih pemimpin untuk menerapkan sistem thaghut
ini, maka sesungguhnya kita telah berkontribusi pada setiap
penyelewengan syariah yang dilakukan oleh pemimpin.
Bila MUI lalu menyampaikan bahwa haram
golput selama masih ada pemimpin yang amanah, pertanyaan kita, adakah
pemimpin yang amanah yang mau memperjuangkan syari’at Islam?! jangankan
memperjuangkan, adakah yang terbuka dengan jelas mengatakan keinginannya
untuk mengambil amanah dari Allah untuk memperjuangkan syari’at Islam?!
Padahal dengan jelas amanah yang dimaksud dalam al-Qur’an yaitu menjadi
pengelola di bumi dengan apa yang Allah berikan yaitu al-Qur’an dan
as-Sunnah
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanatkepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia (TQS al-Ahzab [33]: 72)
Berdasarkan semua dalil diatas, jika
pemimpin ini adalah pemimpin yang tidak menerapkan Islam (al-Qur’an dan
as-Sunnah), dan tidak menggunakan bingkai sistem khilafah untuk seluruh
kaum muslim, maka bukan seperti ini pemimpin yang diwajibkan oleh Islam
untuk mengangkatnya.
Kedua, fatwa golput ini setidaknya menunjukkan beberapa indikasi, yaitu :
a) tekanan yang besar kepada pihak MUI
untuk merealisasikan fatwa golput ini, sehingga fatwa dikeluarkan tanpa
melihat dasar hukum dan kondisi tempat berlakunya fatwa. Ilustrasinya
begini, ada seseorang yang berada di diskotik dimana pemimpinnya adalah
DJ, kemudian ketika terjadi protes kepada DJ lantas ada orang lain yang
menyerukan “taat pada pemimpin adalah wajib!”. Sama seperti kondisi saat
ini, hukum dan dalil Islam diterapkan pada kondisi dan dasar sekuler.
(b) indikasi bahwa demokrasi telah gagal
mengatur dan mengelola ummat, ummat semakin menyadari, bahwa pemilu
lima tahunan ini dan pemilu apapun bentuknya adalah sebuah siasat untuk
memperdaya dan seolah-olah bertindak atas nama ummat, pemilu hanya
digunakan untuk mendapatkan legitimasi dari ummat, padahal ummatlah yang
paling dirugikan dengan semua keputusan yang diatasnamakan ummat.
Demokrasi sesungguhnya hanyalah sebuah slogan persamaan, slogan yang
seolah menaruh ummat pada posisi utama, dan ummat sudah menyadari bahwa
demokrasi tidak lebih adalah propaganda yang hanya ada ketika kampanye
saja.
(c) golput juga menunjukkan suatu
pertanda keputusasaan elit politik yang tidak pernah melakukan proses
edukasi kepada masyarakat, sehingga ini termasuk langkah panik mereka.
yaitu menggunakan kekuasaan dan persuasi agama, yang lucunya agama itu
selalu mereka kesampingkan ketika beraktivitas di parlemen. buruknya
kinerja partai politik, parlemen dan pemerintah harusnya yang menjadi
perhatian, bukan ummat Islam yang golput, karena golputnya ummat adalah
karena korban buruknya kinerja partai, parlemen dan pemerintah
Maka sesungguhnya tidak ada tempat
berharap bagi kaum muslim kecuali kepada sistem yang Allah turunkan
yaitu sistem Islam yang berbasis pada ak-Qur’an dan as-Sunnah. Marilah
tetap pada perjuangan semula, menegakkan kepemimpinan Islam yang
menerapkan Islam, yang bangga kepada Islam dan mencintai ummat Islam
sebagaimana ummat Islam mencintai mereka. Maka ini tidak akan didapat,
kecuali dalam bingkai daulah khilafah rasyidah.
(felix siauw)
(felix siauw)








0 komentar:
Posting Komentar