17.05
Ada yang menyatakan bahwa golput mempermudah orang kafir menjadi pemimpin. Bukankah hal seperti ini haram?
KOMENTAR:
Harus dipahami beberapa hal sebagai berikut.
Pertama,
Mencermati kalimat di atas, kita jangan tertipu. Pernyataan di atas
ingin menyatakan bahwa golput itu haram karena memperbesar peluang orang
kafir menjadi pemimpin. Sekali lagi, jangan tertipu. Maksudnya
bagaimana?
Pernyataan di atas, sebenarnya tidak berbeda dengan
pernyataan berikut: “Pilihlah partai Islam dalam pemilu, sebab jika
tidak pemerintahan akan dikuasai orang kafir. Jika dikuasai orang kafir,
maka akan membahayakan umat Islam.” Ini adalah isu basi yang sudah
sejak lama terbantahkan. Dengan redaksi yang berlainan, pernyataan di
atas seolah-olah ingin menyembunyikan hakikat dari bantahan pada
pernyataan kedua. Padahal, substansi kedua redaksi pernyataan tersebut
adalah sama.
Kedua,
Pernyataan di atas hanyalah berangkat
dari asumsi-asumsi yang tidak jelas. Taruhlah untuk kasus pemilu
Indonesia di tahun mendatang (2014). Akan bisa diprediksi bahwa
calon-calon presiden yang akan maju dalam pilpres, sepertinya memang
tidak ada yang berasal dari orang kafir. Menurut berbagai lembaga
survei, calon-calon presiden di pilpres 2014, seluruhnya adalah orang
Islam (sekali pun sekuler). Berangkat dari kenyataan ini, maka
pernyataan di atas tidak bisa diberlakukan alias hanya omong kosong.
Sebab, kenyataannya tidak ada satu pun orang kafir yang akan maju dalam
pilpres. Tetapi, sekali pun capresnya orang Islam semua, mereka tidak
ada satu pun yang akan menegakkan syariat Islam secara kaaffah. Jadi,
kenyataan sebenarnya adalah sama. Kedua hal tersebut (baik capresnya
muslim atau kafir, baik capresnya aktivis dakwah atau muslim
sekuler/munafik), esensinya sama. Sama-sama, tidak akan membuat syariat
Islam tegak di Indonesia. Justru, dengan keterlibatan aktivis Islam di
pemerintahan Indonesia, akan semakin mengokohkan bentuk pemerintahan dan
bentuk negara Indonesia ini. Artinya, negara ini akan tetap apa adanya
dan tidak akan berubah menjadi negara yang menerapkan syariat Islam
secara kaaffah (negara khilafah).
Kemudian, jika pernyataan di
atas diberlakukan untuk kasus di negara-negara Barat, misalnya Amerika
Serikat. Padahal, di Amerika Serikat, kepala negara atau kepala
pemerintahan yang akan maju dalam pilpres itu berasal dari kalangan
orang kafir. Lantas bagaimana orang Islam menyikapinya? Kalau ikut
pemilu, juga tentu salah, karena capresnya orang kafir semua. Itu
artinya mendorong orang kafir maju sebagai pemimpin. Di sisi lain, jika
bersikap golput, itu sama juga orang kafir akan tetap maju menjadi
pemimpin negara. Lalu bagaimana? Maju kena, mundur juga kena. Bagaimana
pernyataan di atas bisa diterapkan pada kasus seperti ini? Apa hukum
ikut pemilu atau hukum golput akan diubah lagi? Akan jadi aneh bukan?
Ketiga,
Kalau yang menjadi latar belakang pengharaman golput itu adalah karena
“orang kafir akan menguasai dan menghancurkan orang Islam”, itu
tampaknya terlalu berlebihan. Bahaya itu tetap saja ada sekali pun yang
menguasai pemerintahan orang kafir atau orang Islam yang pro terhadap
sistem ini. Buktinya, harta rakyat habis-habisan diserahkan kepada
asing. Rakyat hanya gigit jari. Tetapi pemerintahan tidak peduli, sekali
pun rakyat kelaparan dan kekurangan gizi. Bukti yang menunjukkan bahwa
bahaya itu ada (sekali pun pemerintahan dikuasai mayoritas muslim),
cukup banyak. Kita bisa melihat realitasnya di sekitar kita. Kemiskinan,
kebejatan moral rakyat dan pejabat, suap, korupsi, pengkhianatan
terhadap rakyat dengan menjual aset rakyat, dan sebagainya. Dengan
melihat realitas yang ada, berarti permasalahan sesungguhnya bukan pada
“siapa yang menguasai pemerintahan: kaum muslim atau kaum kafir”. Tetapi
persoalan sesungguhnya, adalah pada sistemnya. Buktinya, ketika
pemerintahan dikuasai orang Islam pun, kondisinya juga tidak lebih
Islami dan tidak lebih baik.
Keempat,
pernyataan di atas,
jika diterapkan di Indonesia, ternyata tidak terbukti sama sekali. Tidak
sesuai dengan realitas. Salah satu partai berbasis massa Islam, dari
pemilu 1999 hingga 2009, suaranya terus menanjak naik dan posisinya di
pemerintahan tentu semakin kuat. Bahkan di beberapa daerah telah
memenangi pilkada. Logikanya (ini jika kita menggunakan logika
tadarruj/penerapan syariat Islam secara bertahap), seharusnya Indonesia
bisa lebih baik dari tahun ke tahun. Tetapi kenyataan justru sebaliknya,
Indonesia semakin liberal. Liberalnya gila-gilaan banget. Nah, dengan
melihat kenyataan ini, maka kesimpulannya adalah bahwa bahaya yang
sesungguhnya adalah datang dari sistem yang diterapkan di negeri ini,
yaitu sistem demokrasi, yang dengannya seks bebas marak, yang dengannya
akal manusia tak terpelihara, kehormatan manusia tergadai, harta rakyat
terampas, dan kesombongan manusia terhadap Allah semakin menjadi-jadi.
Inilah bahayanya. Maka bahaya ini harus dihilangkan, sebagaimana hadis
Rasulullah saw.:
“Laa dharara wa laa dhiraara (Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan)”
Kelima,
Ya, memang bisa jadi pernyataan di atas berangkat dari ketakutan
sebagian kalangan jika pemerintahan dikuasai orang kafir, atau minimal
orang Islam sekuler. Maka, tidak heran jika mereka selalu menyerukan
agar umat memilih partai Islam yang menjadi lawan politik bagi partai
sekuler. Nah, tapi permasalahannya adalah, partai-partai Islam yang ada
di pemerintahan itu justru terlihat tidak konsisten ketika dalam
menjalankan roda pemerintahan mereka justru berkoalisi dengan partai
sekuler. Alasannya bermacam-macam, bisa dibuat. Mulai dari ingin berbuat
nyata untuk rakyat-lah, atau ingin mewarnai pemerintahan dengan warna
Islam-lah, atau agar umat Islam punya peran di pemerintahan-lah, dan
sebagainya. Ini sangat aneh bukan? Sejak sebelum pemilu mengajak orang
untuk tidak golput dan tidak memilih partai sekuler, setelah pemilu,
malah berkoalisi dengan partai sekuler. Ini apa namanya jika bukan
pembohongan publik? Terlihat jelas, bahwa "golput akan memberikan jalan
bagi orang kafir/orang sekuler berkuasa" hanyalah akal-akalan politik
semata.
Keenam,
Pernyataan di atas bisa jadi terlontar dari
kalangan aktivis partai Islam yang ada di parlemen. Sementara, suara
partai-partai tersebut semakin lama semakin tidak laku. Termasuk soal
"isu yang diangkat partai Islam", itu juga sudah tidak laku lagi. Karena
tidak laku, maka partai harus bisa "menekan" rakyat bahwa mereka tidak
boleh golput. Karena golput itu membukan jalan orang kafir untuk
berkuasa. Padahal, dengan semakin sedikitnya golput, maka partai Islam
akan kebagian suara. Jika mereka kebagian suara, itu artinya mereka akan
memiliki wakil di pemerintahan. Jika mereka memiliki wakil di
pemerintahan, itu artinya mereka akan bisa "bekerja kongkret"
sebagaimana yang selama ini mereka dengung-dengungkan. Oleh karena itu,
bisa jadi pernyataan di atas terlontar dari orang yang memang memiliki
kepentingan politik di tahun 2014, misalnya seorang caleg atau
simpatisan dari partai politik peserta pemilu 2014. Jadi, pernyataan di
atas tidak lebih dari kegalauan politik menghadapi lemahnya dukungan
umat kepada partai politik.
Ketujuh,
Marilah kita ajak umat
untuk selalu memilih partai politik yang ideologis. Jangan biarkan umat
diam tidak memilih. Tapi arahkan umat untuk memilih partai Islam
ideologis yang teguh memegang prinsip, tidak pernah membeli, dan tidak
akan bisa dibeli oleh siapa pun atau kondisi apa pun. sekali pun partai
politik Islam ideologis itu tidak berada dalam pemerintahan.(agus trisa)
0 komentar:
Posting Komentar